Jumat, 11 Desember 2009

Psikoanalisa Capres

Niniek L Karim-Bagus Takwin
Meneropong Pribadi Capres Lewat Psikogenesa

Jakarta, Kompas


Kirim Teman | Print Artikel
Senior
"Saya mulanya cemas ketika didekati untuk melakukan penelitian ini. Saya sempat mengatakan tidak," cerita Niniek.

RUANG Bintang Gedung Fakultas Psikologi Universitas Indonesia terlihat sesak siang itu, Kamis (1/7). Ruang yang biasa menjadi tempat digelarnya acara kemisan, ternyata tak cuma dipadati oleh para pengajar psikologi, mahasiswa S1 dan S2. Ruangan itu juga dihadiri psikolog-psikolog profesional dan orang awam yang tak paham psikologi.

Siang itu, Niniek L Karim, Bagus Takwin, dan tim harus "bersaksi" dan mempertanggungjawabkan penelitian mereka Mencermati Kepribadian Capres dari Berbagai Penjuru kepada jajaran sivitas akademika Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

SAYA mulanya cemas ketika didekati untuk melakukan penelitian ini. Saya sempat mengatakan tidak," cerita Niniek ketika mulai menjelaskan alasannya saat hendak melakukan penelitian ini.

Betapa tidak, ia harus melakukan penelitian kepribadian terhadap 10 orang calon yang bakal bersaing merebut kursi penguasa nomor 1 dan nomor 2 di negeri ini. Lagi pula keraguan yang dialami Niniek ini muncul karena kesulitan yang menghadang pastilah sangat banyak, berbeda dengan penelitian yang dilakukan dirinya, Bagus Takwin, dan tim di tahun 1995-1998 saat meneropong kepribadian mantan Presiden Soeharto.

Dalam penelitian kepribadian 10 calon presiden (capres)-calon wakil presiden ini, pastilah lebih sulit memperoleh pidato politik dengan teks atau nonteks seperti yang mereka lakukan saat meneliti perilaku kontrol politik Soeharto.

Keragu-raguan Niniek pelan-pelan sirna ketika Bagus Takwin yang dipanggil oleh kawan-kawan dekatnya "Sokraten" atau Aten ini justru menyambut baik penelitian tersebut. Bagus yang kutu buku ini menyingkirkan perasaan cemas Niniek dengan mengatakan bahwa ada cara baru untuk meneropong dari jauh perilaku politik para calon presiden-calon wakil presiden.

Metode jarak jauh ini pernah dilakukan Post (2003) dalam bukunya The Psychological Assessment of Political Leader untuk mendapatkan profil Saddam Hussein dan Bill Clinton serta perbandingan karakteristik kepribadian dan perilaku politik keduanya.

Niniek pun memperkuat pertimbangannya dengan argumen bahwa pemilihan presiden kali ini adalah pemilihan langsung. "Inilah momen penting bagi bangsa ini untuk mengetahui dan mengenali secara benar siapa calon yang akan mereka pilih. Tim kami tidak memberikan pilihan karena kami tahu semua orang punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Pilihan pribadi soal ke mana negeri ini akan kita bawa," kata Niniek menjelaskan.

Setelah mengambil pilihan ini, Niniek, Aten, empat psikolog, para sarjana psikolog, sarjana sejarah, dan mahasiswa-mahasiswa psikologi yang tergabung dalam tim ini pun bekerja selama 1,5 bulan. Waktu yang sangat terbatas untuk meneliti kepribadian sepuluh tokoh ini yang akan berkompetisi 5 Juli mendatang. Tentu bukan pekerjaan mudah, dan dengan tingkat stres yang tinggi. Pertengkaran demi pertengkaran serta tidur larut untuk "ngelembur kerjaan" menjadi hal yang lazim dalam interaksi mereka selama 1,5 bulan ini.

"Saya dan Aten sering berantem. Saya sering senewen. Gara-gara keseringan berantem, kami dijuluki dua orang neurotik sama salah satu anggota tim. Namun bagi saya itu wajar, terlebih saya pernah lama di bawah asuhan Teguh Karya. Berantem itu bagus dan pemicu produktivitas," ujar Niniek.

Walaupun disparitas usia mereka sangat jauh, mereka mampu menunjukkan diri sebagai tim yang solid. Niniek dan Bagus yang sama-sama menyukai dunia seni ini tak cuma bekerja berdua, mereka dibantu oleh tim mereka yang solid, yang terdiri dari psikolog Budi Hartono dan Ribut Dahyono, serta para sarjana psikologi, sejarah, dan beberapa orang mahasiswa psikologi. Mereka itu adalah Roky Ramly Andar Juang Sah, Brian Marwensy, Petrus Brianto Adi, Erita, Risdianto, Kristahat Panggabean, Dian Assidikah, dan Bayu Agung Nugroho.

Tim Niniek dan Bagus ini mampu "memopulerkan" psikologi yang selama ini senyap dan hanya dikenal di ruang-ruang konsultasi. Psikologi yang selama ini hanya berkutat pada kesehatan mental personal dengan pendekatan kuantitatif ini dicoba oleh Niniek-Bagus dan tim diterjemahkan dalam bentuk yang lebih pop.

Penelitian mereka ini dimuat di harian Kompas mulai Senin (21/6) hingga Jumat (25/6). Penelitian ini disambut dengan baik, tak cuma oleh kalangan masyarakat yang hingga kini masih kebingungan dalam menentukan pilihan mereka tanggal 5 Juli kelak, tapi juga oleh para kandidat.

"EVERYBODY is a naive psychologist," demikian pernyataan Leslie Zebrowitz, seorang psikolog kondang. Kalimat psikolog terkenal ini dikutip Niniek dan Bagus dalam penelitian yang mereka buat.

Mereka mengakui meneliti kepribadian tokoh politik dengan prosedur pemeriksaan psikologis konvensional, terutama menggunakan inform consent (minta izin kepada yang diteliti), tidaklah mudah, apalagi jika tokoh yang diteliti ini adalah calon presiden-calon wakil presiden.

Kesibukan dan keengganan mereka sering kali tidak memungkinkan peneliti melakukan pengukuran psikologis komprehensif. Selain problem waktu, kemampuan tokoh politik menampilkan diri sesuai yang diinginkan publik dan keterampilan retorika mereka juga menjadi kendala. Muncul kemudian dalam literatur psikologi politik berbagai metode dan teknik analisis kepribadian yang tidak konvensional, di antaranya analisis terhadap psikobiografi, dokumen politik, karya tulis, surat pribadi, laporan wawancara, berita media massa, dan wawancara dengan orang terdekat.

Observasi terhadap rekaman audio visual dan survei opini masyarakat juga dikembangkan untuk melengkapi perangkat penelitian kepribadian. Metode pemeriksaan yang dilakukan ini adalah metode pemeriksaan jarak jauh. Pemeriksaan dari jauh terhadap sepuluh tokoh itu dilakukan dengan berbagai teknik.

Teknik pertama yang digunakan adalah analisis psikobiografi untuk menemukan dinamika perkembangan kepribadian dari setiap tokoh dan untuk menemukan aspek menonjol dari kepribadian mereka. Analisis terhadap tulisan yang dibuat setiap tokoh menjadi pelengkap teknik ini, terutama tentang kompleksitas pikiran dan pola penalarannya.

Teknik berikutnya, analisis isi dokumen yang berkaitan dengan perilaku politik dan biografi tokoh politik. Untuk melengkapi kekurangannya, digunakan teknik kuesioner untuk menggali persepsi publik dengan jumlah sampel yang terpakai 286 orang, ditambah pelibatan penilaian 30 psikolog terhadap aspek psikologis dari sepuluh tokoh itu.

Teknik sampling yang digunakan dalam penggalian persepsi sosial publik adalah teknik sampling stratified atau kuota yang dikombinasikan dengan teknik purposive. Secara purposive, masyarakat DKI Jakarta dengan lima wilayahnya dipilih sebagai sampel berdasarkan karakteristik ibu kota, yang merupakan kumpulan manusia dari hampir segala suku/daerah dari masyarakat Indonesia.

Bagus Takwin yang juga pengarang cerpen Bermain-main dengan Cinta yang diterbitkan 2002 serta novel Akademos (2003) menuturkan bahwa penelitian ini "dibungkus" dengan aneka teori, antara lain teori kepribadian yang merupakan teori inti psikologis yang tepat untuk menganalisis psikologi sepuluh tokoh ini. Secara spesifik teori trait (sifat) dan karakter otoritarianisme yang diambil dari konsep TW Adorno. Sembilan karakter otoritarianisme Adorno ini mampu menggali karakter sepuluh calon presiden-calon wakil presiden ini.

Untuk mengetahui motif sosial kesepuluh tokoh ini, para peneliti ini melingkupi hasil penelitian mereka dengan teori motif sosial McLelland yang mengenal tiga jenis kebutuhan sosial pada manusia, yaitu kebutuhan akan prestasi (need for achievement), kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation), dan kebutuhan akan kekuasaan (need for power).

Dengan "bungkus" teori dan metode penelitian yang kuat ini, Niniek, Bagus, dan tim pun telah mengambil kesimpulan. Wiranto yang merupakan pengawal setia yang selalu waspada bergabung dengan Salahuddin Wahid akan menghasilkan pasangan yang ingin menjauhkan konflik. Megawati yang mampu bertahan dari masa lalu yang kelam bergabung dengan Hasyim Muzadi akan menghasilkan kepemimpinan yang formal dan cenderung defensif.

Amien Rais yang disebut oleh Niniek dan Bagus sebagai Si Kancil yang ingin menyenangkan banyak orang bergabung dengan Siswono Yudo Husodo yang merupakan pekerja keras akan menghasilkan kepemimpinan yang merupakan perpaduan ego ideal dan ego realistis.

Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki karakter "anak tunggal yang selalu ingin tampil charming", teori Alfred Adler, bergabung dengan Jusuf Kalla yang realistis akan menghasilkan kepemimpinan yang hati-hati dan kecepatan memanfaatkan kesempatan.

Hamzah Haz yang kompromis bergabung dengan Agum Gumelar yang memiliki kemampuan presentasi diri baik akan menghasilkan kepemimpinan yang merupakan perpaduan kompromi dan menganggap penting presentasi diri. Hamzah dan Agum sama-sama menganggap penting lingkungan sosial dan berusaha menampilkan diri agar sesuai dengan masyarakat di lingkungannya.

MESKI mengundang sambutan, di kalangan para psikolog penelitian yang dilakukan Niniek, Bagus, dan tim ini mengundang kritik terutama seputar tidak adanya izin dari yang diteliti.

Dalam pertemuan di Ruang Bintang Fakultas Psikologi UI itu, Prof Munandar menanyakan mengapa para peneliti tidak melakukan inform consent kepada orang-orang yang diteliti. Niniek dan Bagus mengatakan bahwa penelitian tersebut tidak perlu meminta izin, mengingat orang-orang yang diteliti tersebut adalah tokoh publik yang hendak mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

"Kami tidak perlu meminta izin karena mereka adalah tokoh publik yang harus disorot. Mereka harus siap dibuka karena mereka akan dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat berhak tahu calon-calon yang akan mereka pilih," kata Niniek menjelaskan.

Kritik lainnya yang juga muncul adalah banyaknya istilah-istilah psikologi yang belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat biasa. "Saya kok tidak sepenuhnya bisa memahami," ujar seseorang.

Walaupun muncul kritik dari psikolog yang memegang ketat pendekatan kuantitatif dan kode etik psikolog, upaya Niniek-Bagus dan tim ini tetap diakui mereka telah membuat kagum jajaran sivitas akademika Fakultas Psikologi UI. Kekaguman dan kebanggaan akan keberhasilan Niniek-Bagus dan timnya untuk membawa keluar ilmu psikologi dari menara gading yang selama ini tak tersentuh. Terlebih dalam momen pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.

"Saya selalu teringat ucapan Prof Mulyono yang selalu berusaha menyosialisasikan psikologi. Ia selalu mengingatkan agar psikologi tidak lagi berada di menara gading," papar perempuan cantik yang juga aktif bermain teater ini. (Vincentia Hanni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar