Jumat, 11 Desember 2009

Akar Kelerasan Manusia

PSIKOANALISA ERICH FROMM : MENELUSURI AKAR KEKERASAN MANUSIA

Apakah kekerasan itu suatu potensi bawaan atau bukan? Fromm meninjau kembali konsep agresi psikonalisa Freud, membandingkannya dengan berbagai gejala sifat destruktif individu dan masyarakat.

Fenomena kekerasan pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah kekerasan telah ditampilkan oleh anak turun Adam-Hawa, dengan tewasnya Habil di tangan Qobil. Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur sejarah peradaban manusia. Bahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan “kedaulatan” seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.

Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, menurut Fromm dalam catatan kakinya, adalah adanya perang saudara yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan. Dan kenyataan membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya. Lantas dari sisi psikologi ditanyakan, mengapa manusia selalu muncul sifat destruktifnya dan menjadi begitu tak terkendalikan? Dan mengapa pula manusia berani berbaku hantam sesamanya demi mempertahankan kondisi subjektif narsistiknya? Kondisi itulah yang akan dijelaskan Erich Fromm dalam buku setebal 755 halaman ini.

Dalam buku yang mencoba mengupas akar kekerasan pada diri manusia ini diketengahkan analisa Sigmund Freud dengan teori instingnya maupun Konrad Lorenz dengan teori agresinya, yang mendapat kritik tajam Erich Fromm. Manusia, kata Freud, tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut terbatas. Sehingga kecenderungan agresi, bagi Freud, bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari hasratnya sebagai manusia.

Sedangkan Lorenz mengupas sebab adanya kekerasan adalah dari faktor biologis di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan. Dengan kata lain, bahwa sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan. Malah menurut Lorenz dibentuknya partai politik oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.

Bila pernyataan Freud atau Lorenz benar, bahwa perilaku manusia tidak akan menyimpang dari insting kemanusiaannya dan respon agresi dari faktor eksternal, lantas apa bedanya hewan dengan manusia? Bukankah keduanya sama-sama memiliki insting kehidupan dan kematian? Karena hewan pun mempunyai insting kehidupan, bertahan diri dari serangan atau ancaman dari luar. Nampaknya inilah yang akan menjadi sasaran kritik Fromm. Menurutnya, Freud tak cukup konsekwen dengan konsepnya. Agresi yang tercermin dalam perilaku manusia tak cukup hanya dirangkum dalam satu hasrat. Antara insting pelestarian diri-libido dan insting kehidupan-kematian adalah berlawanan satu sama lain. Dengan demikian Freud telah menyatukan kecenderungan-kecenderungan yang pada kenyataannya bukan merupakan satu kesatuan. Sedangkan teori Lorenz pada intinya ada dua. Pertama, bahwa agresi pada dasarnya sudah tertanam pada diri manusia. Dan yang kedua adanya dorongan tenaga hidrolik, sebagai tenaga pelampiasan melakukan hal keji dan kejam. Menurut Fromm tidak cukup bukti pendukung yang bisa diketengahkan teori tersebut. Karena teori tersebut bersimpul pada satu kategori, yaitu agresi. Sedangkan Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis. Psikoanalisis tersebut pada dasarnya adalah teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri. Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok.

Pada struktur masyarakat modern yang konsumtif sangat membutuhkan sistem sosial di mana ia memiliki tempat tinggal hubungan dengan sesamanya relatif stabil serta didukung oleh nilai-nilai dan gagasan yang diterima secara umum. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masyarakat industri yang terjadi adalah hilangnya tradisi, nilai-nilai sosial dan keterikatan sosial dengan sesama. Fromm menegaskan, yang menjadi penyebab agresi manusia tidak cuma kepadatan penduduk, namun juga rusaknya struktur sosial dan ikatan sosial murni. Dilain pihak, perilaku agresi muncul juga karena kondisi sosial, psikologis, ekonomi, budaya dan politik.

Dalam bab VIII (Antropologi), bagian kedua buku ini, Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya. Pertama, adalah sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan atau kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai. Kedua, sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif -agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifan dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya. Ketiga, sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terjadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.

Ditinjau dari hasrat dan kondisi sosial manusia, baik itu dalam struktur sosial maupun sistem kelompok, akan mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam kepentingan hayatinya. Namun untuk memahami fenomena kedestruktifan manusia tersebut, kata Fromm, yang perlu menjadi perhatian adalah diabaikannya makna dan motivasi spiritual religius ketika dalam suasana dan kondisi yang berkecamuk. Bangsa, negara dan kehormatan warganya menjadi sesuatu yang disembah-sembah, dan kedua pihak yang saling bertikai dengan rela mengorbankan dirinya, anaknya serta harta bendanya demi “sesembahan” tersebut. Di sini Fromm menganalogikan sebuah ritual keagamaan (sekte) ke dalam situasi tak menentu massa, yaitu dengan menggambarkan “seseorang atau kelompok berani bertaruh apa saja demi apa yang dibelanya meski absurd”. Fromm menekankan bahwa untuk memahami semua fenomena kedestruktifan dan kekejaman perlu mendalami motivasi religius yang mungkin ada di dalamnya, bukannya motivasi kedestruktifan dan kekejaman itu sendiri.
Mengapa manusia cenderung menggunakan kekerasan? Apakah kedestruktifan kelompok yang saling bertikai merupakan hasil dari hasrat mempertahankan diri? Dalam pembahasan agresi yang banyak percabangannya, disinggung adanya agresi dan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Sedangkan pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan yang sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya. Namun tentunya ini bikan faktor tunggal, ada motivasi lain yang mungkin lebih dari sekedar demi citra diri kelompok, bertahan maupun penegasan diri atau kelompok.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kedestruktifan maupun kekerasan dalam masyarakat tak jauh dari karakter sosial masyarakat sendiri. Sebab karakter merupakan ciri khas di mana energi manusia ditata untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu bertindak secara naluriah. Kelompok-kelompok manusia sedari dulu hidup dalam suasana keragaman. Konsep karakter sosial didasarkan pada pemahaman bahwa tiap bentuk masyarakat perlu menggunakan kelebihan manusia (dibandingkan dengan hewan) dengan cara-cara yang khas yang diperlukan untuk peranan masyarakat itu sendiri. Proses perubahan energi psikis umum menjadi energi psikososial khusus dijembatani oleh karakter sosial. Pendek kata, masyarakat harus memiliki dan mengetahui keinginan untuk melakukan apa yang harus mereka kerjakan jika ingin tertata baik. Sedangkan sarana pembentuk karakter, menurut Fromm, pada dasarnya bersifat budaya.

Nampaknya buku tebal yang terbagi menjadi tiga bagian dan 13 bab ini enak dibaca. Namun patut pula dicermati, dalam sebuah psikoanalisis, bahwa sifat pembawaan manusia yang cenderung destruktif jika dianggap sebagai kelaziman, berarti sifat destruktif pada manusia adalah suatu kewajaran. Artinya karakter yang memang sudah tertanam pada manusia itu bisa dimaklumi? Sehingga dengan demikian apa yang pernah dilakukan Hitler (Bab XIII mengulas Hitler) bisa dimaklumi karena memang sudah tertanam karakter jahat dan destruktif pada diri Hitler? Pun dalam sebuah pertikaian kelompok sosial. Karena mereka mempunyai “agresi” masing-masing dalam kelompok, meski bisa dihentikan sementara dengan kelebihannya sebagai manusia, maka tidak tertutup kemungkinan kekerasan yang lebih dahsyat akan terjadi lagi. Karena dalam pertikaian sosial antar kelompok dibutuhkan kelompok lain yang lebih tinggi lagi (negara) untuk menengahi dan mengatasi kekerasan massal tersebut. Maka membaca buku Erich Fromm ini kita diajak berdiskusi mengenai jutaan karakter manusia yang mungkin akan selalu berubah sesuai kondisi objektif yang melingkupinya. Karena, memang, buku ini bukan pensuplai tunggal wacana mencari akar kekerasan dan karena buku ini semata-mata lebih bersifat psikoanalisis. Sehingga kita masih membutuhkan wacana lain pembongkar asal mula terjadinya kekerasan. Namun buku ini masih tetap memberi kelayakan pengetahuan yang lebih dari sekedar pengetahuan, meski analisa kondisi subjektif masuk di dalamnya.

Apakah kekerasan itu suatu potensi bawaan atau bukan? Fromm meninjau kembali konsep agresi psikonalisa Freud, membandingkannya dengan berbagai gejala sifat destruktif individu dan masyarakat.

Fenomena kekerasan pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah kekerasan telah ditampilkan oleh anak turun Adam-Hawa, dengan tewasnya Habil di tangan Qobil. Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur sejarah peradaban manusia. Bahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan “kedaulatan” seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.

Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, menurut Fromm dalam catatan kakinya, adalah adanya perang saudara yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan. Dan kenyataan membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya. Lantas dari sisi psikologi ditanyakan, mengapa manusia selalu muncul sifat destruktifnya dan menjadi begitu tak terkendalikan? Dan mengapa pula manusia berani berbaku hantam sesamanya demi mempertahankan kondisi subjektif narsistiknya? Kondisi itulah yang akan dijelaskan Erich Fromm dalam buku setebal 755 halaman ini.

Dalam buku yang mencoba mengupas akar kekerasan pada diri manusia ini diketengahkan analisa Sigmund Freud dengan teori instingnya maupun Konrad Lorenz dengan teori agresinya, yang mendapat kritik tajam Erich Fromm. Manusia, kata Freud, tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut terbatas. Sehingga kecenderungan agresi, bagi Freud, bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari hasratnya sebagai manusia.

Sedangkan Lorenz mengupas sebab adanya kekerasan adalah dari faktor biologis di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan. Dengan kata lain, bahwa sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan. Malah menurut Lorenz dibentuknya partai politik oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.

Bila pernyataan Freud atau Lorenz benar, bahwa perilaku manusia tidak akan menyimpang dari insting kemanusiaannya dan respon agresi dari faktor eksternal, lantas apa bedanya hewan dengan manusia? Bukankah keduanya sama-sama memiliki insting kehidupan dan kematian? Karena hewan pun mempunyai insting kehidupan, bertahan diri dari serangan atau ancaman dari luar. Nampaknya inilah yang akan menjadi sasaran kritik Fromm. Menurutnya, Freud tak cukup konsekwen dengan konsepnya. Agresi yang tercermin dalam perilaku manusia tak cukup hanya dirangkum dalam satu hasrat. Antara insting pelestarian diri-libido dan insting kehidupan-kematian adalah berlawanan satu sama lain. Dengan demikian Freud telah menyatukan kecenderungan-kecenderungan yang pada kenyataannya bukan merupakan satu kesatuan. Sedangkan teori Lorenz pada intinya ada dua. Pertama, bahwa agresi pada dasarnya sudah tertanam pada diri manusia. Dan yang kedua adanya dorongan tenaga hidrolik, sebagai tenaga pelampiasan melakukan hal keji dan kejam. Menurut Fromm tidak cukup bukti pendukung yang bisa diketengahkan teori tersebut. Karena teori tersebut bersimpul pada satu kategori, yaitu agresi. Sedangkan Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis. Psikoanalisis tersebut pada dasarnya adalah teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri. Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok.

Pada struktur masyarakat modern yang konsumtif sangat membutuhkan sistem sosial di mana ia memiliki tempat tinggal hubungan dengan sesamanya relatif stabil serta didukung oleh nilai-nilai dan gagasan yang diterima secara umum. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masyarakat industri yang terjadi adalah hilangnya tradisi, nilai-nilai sosial dan keterikatan sosial dengan sesama. Fromm menegaskan, yang menjadi penyebab agresi manusia tidak cuma kepadatan penduduk, namun juga rusaknya struktur sosial dan ikatan sosial murni. Dilain pihak, perilaku agresi muncul juga karena kondisi sosial, psikologis, ekonomi, budaya dan politik.

Dalam bab VIII (Antropologi), bagian kedua buku ini, Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya. Pertama, adalah sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan atau kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai. Kedua, sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif -agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifan dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya. Ketiga, sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terjadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.

Ditinjau dari hasrat dan kondisi sosial manusia, baik itu dalam struktur sosial maupun sistem kelompok, akan mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam kepentingan hayatinya. Namun untuk memahami fenomena kedestruktifan manusia tersebut, kata Fromm, yang perlu menjadi perhatian adalah diabaikannya makna dan motivasi spiritual religius ketika dalam suasana dan kondisi yang berkecamuk. Bangsa, negara dan kehormatan warganya menjadi sesuatu yang disembah-sembah, dan kedua pihak yang saling bertikai dengan rela mengorbankan dirinya, anaknya serta harta bendanya demi “sesembahan” tersebut. Di sini Fromm menganalogikan sebuah ritual keagamaan (sekte) ke dalam situasi tak menentu massa, yaitu dengan menggambarkan “seseorang atau kelompok berani bertaruh apa saja demi apa yang dibelanya meski absurd”. Fromm menekankan bahwa untuk memahami semua fenomena kedestruktifan dan kekejaman perlu mendalami motivasi religius yang mungkin ada di dalamnya, bukannya motivasi kedestruktifan dan kekejaman itu sendiri.
Mengapa manusia cenderung menggunakan kekerasan? Apakah kedestruktifan kelompok yang saling bertikai merupakan hasil dari hasrat mempertahankan diri? Dalam pembahasan agresi yang banyak percabangannya, disinggung adanya agresi dan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Sedangkan pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan yang sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya. Namun tentunya ini bikan faktor tunggal, ada motivasi lain yang mungkin lebih dari sekedar demi citra diri kelompok, bertahan maupun penegasan diri atau kelompok.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kedestruktifan maupun kekerasan dalam masyarakat tak jauh dari karakter sosial masyarakat sendiri. Sebab karakter merupakan ciri khas di mana energi manusia ditata untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu bertindak secara naluriah. Kelompok-kelompok manusia sedari dulu hidup dalam suasana keragaman. Konsep karakter sosial didasarkan pada pemahaman bahwa tiap bentuk masyarakat perlu menggunakan kelebihan manusia (dibandingkan dengan hewan) dengan cara-cara yang khas yang diperlukan untuk peranan masyarakat itu sendiri. Proses perubahan energi psikis umum menjadi energi psikososial khusus dijembatani oleh karakter sosial. Pendek kata, masyarakat harus memiliki dan mengetahui keinginan untuk melakukan apa yang harus mereka kerjakan jika ingin tertata baik. Sedangkan sarana pembentuk karakter, menurut Fromm, pada dasarnya bersifat budaya.

Nampaknya buku tebal yang terbagi menjadi tiga bagian dan 13 bab ini enak dibaca. Namun patut pula dicermati, dalam sebuah psikoanalisis, bahwa sifat pembawaan manusia yang cenderung destruktif jika dianggap sebagai kelaziman, berarti sifat destruktif pada manusia adalah suatu kewajaran. Artinya karakter yang memang sudah tertanam pada manusia itu bisa dimaklumi? Sehingga dengan demikian apa yang pernah dilakukan Hitler (Bab XIII mengulas Hitler) bisa dimaklumi karena memang sudah tertanam karakter jahat dan destruktif pada diri Hitler? Pun dalam sebuah pertikaian kelompok sosial. Karena mereka mempunyai “agresi” masing-masing dalam kelompok, meski bisa dihentikan sementara dengan kelebihannya sebagai manusia, maka tidak tertutup kemungkinan kekerasan yang lebih dahsyat akan terjadi lagi. Karena dalam pertikaian sosial antar kelompok dibutuhkan kelompok lain yang lebih tinggi lagi (negara) untuk menengahi dan mengatasi kekerasan massal tersebut. Maka membaca buku Erich Fromm ini kita diajak berdiskusi mengenai jutaan karakter manusia yang mungkin akan selalu berubah sesuai kondisi objektif yang melingkupinya. Karena, memang, buku ini bukan pensuplai tunggal wacana mencari akar kekerasan dan karena buku ini semata-mata lebih bersifat psikoanalisis. Sehingga kita masih membutuhkan wacana lain pembongkar asal mula terjadinya kekerasan. Namun buku ini masih tetap memberi kelayakan pengetahuan yang lebih dari sekedar pengetahuan, meski analisa kondisi subjektif masuk di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar