Jumat, 11 Desember 2009

Psikoanalisa Capres

Niniek L Karim-Bagus Takwin
Meneropong Pribadi Capres Lewat Psikogenesa

Jakarta, Kompas


Kirim Teman | Print Artikel
Senior
"Saya mulanya cemas ketika didekati untuk melakukan penelitian ini. Saya sempat mengatakan tidak," cerita Niniek.

RUANG Bintang Gedung Fakultas Psikologi Universitas Indonesia terlihat sesak siang itu, Kamis (1/7). Ruang yang biasa menjadi tempat digelarnya acara kemisan, ternyata tak cuma dipadati oleh para pengajar psikologi, mahasiswa S1 dan S2. Ruangan itu juga dihadiri psikolog-psikolog profesional dan orang awam yang tak paham psikologi.

Siang itu, Niniek L Karim, Bagus Takwin, dan tim harus "bersaksi" dan mempertanggungjawabkan penelitian mereka Mencermati Kepribadian Capres dari Berbagai Penjuru kepada jajaran sivitas akademika Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

SAYA mulanya cemas ketika didekati untuk melakukan penelitian ini. Saya sempat mengatakan tidak," cerita Niniek ketika mulai menjelaskan alasannya saat hendak melakukan penelitian ini.

Betapa tidak, ia harus melakukan penelitian kepribadian terhadap 10 orang calon yang bakal bersaing merebut kursi penguasa nomor 1 dan nomor 2 di negeri ini. Lagi pula keraguan yang dialami Niniek ini muncul karena kesulitan yang menghadang pastilah sangat banyak, berbeda dengan penelitian yang dilakukan dirinya, Bagus Takwin, dan tim di tahun 1995-1998 saat meneropong kepribadian mantan Presiden Soeharto.

Dalam penelitian kepribadian 10 calon presiden (capres)-calon wakil presiden ini, pastilah lebih sulit memperoleh pidato politik dengan teks atau nonteks seperti yang mereka lakukan saat meneliti perilaku kontrol politik Soeharto.

Keragu-raguan Niniek pelan-pelan sirna ketika Bagus Takwin yang dipanggil oleh kawan-kawan dekatnya "Sokraten" atau Aten ini justru menyambut baik penelitian tersebut. Bagus yang kutu buku ini menyingkirkan perasaan cemas Niniek dengan mengatakan bahwa ada cara baru untuk meneropong dari jauh perilaku politik para calon presiden-calon wakil presiden.

Metode jarak jauh ini pernah dilakukan Post (2003) dalam bukunya The Psychological Assessment of Political Leader untuk mendapatkan profil Saddam Hussein dan Bill Clinton serta perbandingan karakteristik kepribadian dan perilaku politik keduanya.

Niniek pun memperkuat pertimbangannya dengan argumen bahwa pemilihan presiden kali ini adalah pemilihan langsung. "Inilah momen penting bagi bangsa ini untuk mengetahui dan mengenali secara benar siapa calon yang akan mereka pilih. Tim kami tidak memberikan pilihan karena kami tahu semua orang punya hak untuk menentukan pilihannya sendiri. Pilihan pribadi soal ke mana negeri ini akan kita bawa," kata Niniek menjelaskan.

Setelah mengambil pilihan ini, Niniek, Aten, empat psikolog, para sarjana psikolog, sarjana sejarah, dan mahasiswa-mahasiswa psikologi yang tergabung dalam tim ini pun bekerja selama 1,5 bulan. Waktu yang sangat terbatas untuk meneliti kepribadian sepuluh tokoh ini yang akan berkompetisi 5 Juli mendatang. Tentu bukan pekerjaan mudah, dan dengan tingkat stres yang tinggi. Pertengkaran demi pertengkaran serta tidur larut untuk "ngelembur kerjaan" menjadi hal yang lazim dalam interaksi mereka selama 1,5 bulan ini.

"Saya dan Aten sering berantem. Saya sering senewen. Gara-gara keseringan berantem, kami dijuluki dua orang neurotik sama salah satu anggota tim. Namun bagi saya itu wajar, terlebih saya pernah lama di bawah asuhan Teguh Karya. Berantem itu bagus dan pemicu produktivitas," ujar Niniek.

Walaupun disparitas usia mereka sangat jauh, mereka mampu menunjukkan diri sebagai tim yang solid. Niniek dan Bagus yang sama-sama menyukai dunia seni ini tak cuma bekerja berdua, mereka dibantu oleh tim mereka yang solid, yang terdiri dari psikolog Budi Hartono dan Ribut Dahyono, serta para sarjana psikologi, sejarah, dan beberapa orang mahasiswa psikologi. Mereka itu adalah Roky Ramly Andar Juang Sah, Brian Marwensy, Petrus Brianto Adi, Erita, Risdianto, Kristahat Panggabean, Dian Assidikah, dan Bayu Agung Nugroho.

Tim Niniek dan Bagus ini mampu "memopulerkan" psikologi yang selama ini senyap dan hanya dikenal di ruang-ruang konsultasi. Psikologi yang selama ini hanya berkutat pada kesehatan mental personal dengan pendekatan kuantitatif ini dicoba oleh Niniek-Bagus dan tim diterjemahkan dalam bentuk yang lebih pop.

Penelitian mereka ini dimuat di harian Kompas mulai Senin (21/6) hingga Jumat (25/6). Penelitian ini disambut dengan baik, tak cuma oleh kalangan masyarakat yang hingga kini masih kebingungan dalam menentukan pilihan mereka tanggal 5 Juli kelak, tapi juga oleh para kandidat.

"EVERYBODY is a naive psychologist," demikian pernyataan Leslie Zebrowitz, seorang psikolog kondang. Kalimat psikolog terkenal ini dikutip Niniek dan Bagus dalam penelitian yang mereka buat.

Mereka mengakui meneliti kepribadian tokoh politik dengan prosedur pemeriksaan psikologis konvensional, terutama menggunakan inform consent (minta izin kepada yang diteliti), tidaklah mudah, apalagi jika tokoh yang diteliti ini adalah calon presiden-calon wakil presiden.

Kesibukan dan keengganan mereka sering kali tidak memungkinkan peneliti melakukan pengukuran psikologis komprehensif. Selain problem waktu, kemampuan tokoh politik menampilkan diri sesuai yang diinginkan publik dan keterampilan retorika mereka juga menjadi kendala. Muncul kemudian dalam literatur psikologi politik berbagai metode dan teknik analisis kepribadian yang tidak konvensional, di antaranya analisis terhadap psikobiografi, dokumen politik, karya tulis, surat pribadi, laporan wawancara, berita media massa, dan wawancara dengan orang terdekat.

Observasi terhadap rekaman audio visual dan survei opini masyarakat juga dikembangkan untuk melengkapi perangkat penelitian kepribadian. Metode pemeriksaan yang dilakukan ini adalah metode pemeriksaan jarak jauh. Pemeriksaan dari jauh terhadap sepuluh tokoh itu dilakukan dengan berbagai teknik.

Teknik pertama yang digunakan adalah analisis psikobiografi untuk menemukan dinamika perkembangan kepribadian dari setiap tokoh dan untuk menemukan aspek menonjol dari kepribadian mereka. Analisis terhadap tulisan yang dibuat setiap tokoh menjadi pelengkap teknik ini, terutama tentang kompleksitas pikiran dan pola penalarannya.

Teknik berikutnya, analisis isi dokumen yang berkaitan dengan perilaku politik dan biografi tokoh politik. Untuk melengkapi kekurangannya, digunakan teknik kuesioner untuk menggali persepsi publik dengan jumlah sampel yang terpakai 286 orang, ditambah pelibatan penilaian 30 psikolog terhadap aspek psikologis dari sepuluh tokoh itu.

Teknik sampling yang digunakan dalam penggalian persepsi sosial publik adalah teknik sampling stratified atau kuota yang dikombinasikan dengan teknik purposive. Secara purposive, masyarakat DKI Jakarta dengan lima wilayahnya dipilih sebagai sampel berdasarkan karakteristik ibu kota, yang merupakan kumpulan manusia dari hampir segala suku/daerah dari masyarakat Indonesia.

Bagus Takwin yang juga pengarang cerpen Bermain-main dengan Cinta yang diterbitkan 2002 serta novel Akademos (2003) menuturkan bahwa penelitian ini "dibungkus" dengan aneka teori, antara lain teori kepribadian yang merupakan teori inti psikologis yang tepat untuk menganalisis psikologi sepuluh tokoh ini. Secara spesifik teori trait (sifat) dan karakter otoritarianisme yang diambil dari konsep TW Adorno. Sembilan karakter otoritarianisme Adorno ini mampu menggali karakter sepuluh calon presiden-calon wakil presiden ini.

Untuk mengetahui motif sosial kesepuluh tokoh ini, para peneliti ini melingkupi hasil penelitian mereka dengan teori motif sosial McLelland yang mengenal tiga jenis kebutuhan sosial pada manusia, yaitu kebutuhan akan prestasi (need for achievement), kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation), dan kebutuhan akan kekuasaan (need for power).

Dengan "bungkus" teori dan metode penelitian yang kuat ini, Niniek, Bagus, dan tim pun telah mengambil kesimpulan. Wiranto yang merupakan pengawal setia yang selalu waspada bergabung dengan Salahuddin Wahid akan menghasilkan pasangan yang ingin menjauhkan konflik. Megawati yang mampu bertahan dari masa lalu yang kelam bergabung dengan Hasyim Muzadi akan menghasilkan kepemimpinan yang formal dan cenderung defensif.

Amien Rais yang disebut oleh Niniek dan Bagus sebagai Si Kancil yang ingin menyenangkan banyak orang bergabung dengan Siswono Yudo Husodo yang merupakan pekerja keras akan menghasilkan kepemimpinan yang merupakan perpaduan ego ideal dan ego realistis.

Susilo Bambang Yudhoyono yang memiliki karakter "anak tunggal yang selalu ingin tampil charming", teori Alfred Adler, bergabung dengan Jusuf Kalla yang realistis akan menghasilkan kepemimpinan yang hati-hati dan kecepatan memanfaatkan kesempatan.

Hamzah Haz yang kompromis bergabung dengan Agum Gumelar yang memiliki kemampuan presentasi diri baik akan menghasilkan kepemimpinan yang merupakan perpaduan kompromi dan menganggap penting presentasi diri. Hamzah dan Agum sama-sama menganggap penting lingkungan sosial dan berusaha menampilkan diri agar sesuai dengan masyarakat di lingkungannya.

MESKI mengundang sambutan, di kalangan para psikolog penelitian yang dilakukan Niniek, Bagus, dan tim ini mengundang kritik terutama seputar tidak adanya izin dari yang diteliti.

Dalam pertemuan di Ruang Bintang Fakultas Psikologi UI itu, Prof Munandar menanyakan mengapa para peneliti tidak melakukan inform consent kepada orang-orang yang diteliti. Niniek dan Bagus mengatakan bahwa penelitian tersebut tidak perlu meminta izin, mengingat orang-orang yang diteliti tersebut adalah tokoh publik yang hendak mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden.

"Kami tidak perlu meminta izin karena mereka adalah tokoh publik yang harus disorot. Mereka harus siap dibuka karena mereka akan dipilih langsung oleh rakyat. Rakyat berhak tahu calon-calon yang akan mereka pilih," kata Niniek menjelaskan.

Kritik lainnya yang juga muncul adalah banyaknya istilah-istilah psikologi yang belum sepenuhnya diketahui oleh masyarakat biasa. "Saya kok tidak sepenuhnya bisa memahami," ujar seseorang.

Walaupun muncul kritik dari psikolog yang memegang ketat pendekatan kuantitatif dan kode etik psikolog, upaya Niniek-Bagus dan tim ini tetap diakui mereka telah membuat kagum jajaran sivitas akademika Fakultas Psikologi UI. Kekaguman dan kebanggaan akan keberhasilan Niniek-Bagus dan timnya untuk membawa keluar ilmu psikologi dari menara gading yang selama ini tak tersentuh. Terlebih dalam momen pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.

"Saya selalu teringat ucapan Prof Mulyono yang selalu berusaha menyosialisasikan psikologi. Ia selalu mengingatkan agar psikologi tidak lagi berada di menara gading," papar perempuan cantik yang juga aktif bermain teater ini. (Vincentia Hanni)

Psikologi Barat

Keberhasilan indigenisasi psikologi Barat sejatinya merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat negara-negara berkembang yang kerap menjadi customer di negeri sendiri. Serangan kritik dari para ahli adalah bentuk dari menerima tantangan yang muncul ke permukaan. Namun kritik tersebut ibarat gunung es di tengah laut yang hanya sebagian puncaknya yang tampak. Melontarkan kritik saja belum sepenuhnya bisa menjawab tantangan jika tidak dibuktikan dengan lahirnya indigenisasi psikologi yang sesungguhnya. Oleh karena itu, dibutuhkan semangat agent of change untuk mengubah persepsi masyarakat negara berkembang yang terlanjur menjadikan psikologi Barat sebagai parameter ilmu psikologi.

Psikologi Barat Sebagai Kacamata Bantu

Ilmu Psikologi, seperti halnya bahasa merupakan instrumen ciptaan manusia yang mengalir bersama arus kekuatan. Perumpamaan sederhananya saat bangsa Belanda menjadi menjadi koloni paling berkuasa di Indonesia, bahasa pengantar pendidikan di sekolah-sekolah menggunakan bahasa Belanda. Pribumi dan orang totok diharuskan belajar kebudayaan dan sejarah Belanda, bahkan meresapkan nilai-nilai bangsa Belanda dalam cara berpikir, berpakaian dan gaya hidup. Ada otoritas yang membuat nilai-nilai yang berbeda dapat diterima. Tidak hanya Belanda, bangsa-bangsa Barat lainnya telah mendominasi negara-negara berkembang sejak ratusan tahun lalu.
Psikologi Barat dapat menyebar dan memiliki penganut di seluruh dunia tidak lain adalah sebagian kecil bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh bangsa Barat. Mereka menciptakan persepsi tentang peradaban maju dan kekuasaan yang hanya dimiliki oleh bangsa Barat. Tak heran bahwa terkadang persepsi ini sampai sekarang masih mengakar dalam mental masyarakat negara bekas jajahan. Kuatnya kedudukan psikologi Barat tak terlepas dari pemikiran bangsa negara-negara berkembang bahwa segala hal yang berasal dari Barat jauh lebih hebat. Barat dikenal sebagai kiblat sains, sehingga kita lebih mengenal Plato daripada Zarathustra. Padahal diyakini bahwa pemikiran Zarathustra berpengaruh besar pada kehidupan intelektual Yunani Kuno (Schultz, 1981:46). Kebutuhan akan sains menyebabkan masyarakat negara ketiga rela berkiblat pada Barat. Tanpa adanya cengkeraman hegemoni dari Barat pun, proses mengadopsi psikologi Barat dapat berlangsung secara alamiah. Layaknya seorang murid menimba ilmu pada gurunya.
Seiring berkembangnya intelektualitas, masyarakat lokal menyadari perbedaan prinsipil yang ditemukan saat psikologi Barat diterapkan pada komunitasnya. Sebagai contoh, negara-negara di Asia memiliki adat ketimuran yang kuat, meliputi kehidupan spiritual dan adanya hubungan vertikal dengan Tuhan/Dewa sebagai penguasa tertinggi, selain hubungan horizontal antar sesama manusia. Sedangkan bangsa Barat berbasis sekulerisme dan hanya mengenal hubungan horizontal. Perbedaan nilai ini menyebabkan psikologi Barat mengalami kesulitan saat berhadapan dengan hal-hal mistis yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah dan empiris. Padahal bagi masyarakat Timur, hal-hal mistis merupakan bagian dari kehidupan yang mereka yakini (www.freelist.org).
Psikologi Barat bukanlah ilmu universal yang bisa diterapkan dalam semua kultur masyarakat. Akan mudah terjadi bias kultur jika diterapkan pada masyarakat yang jelas-jelas memiliki nilai-nilai yang berbeda. Teori Freud tentang struktur kepribadian id, ego dan superego mungkin akan sulit menjelaskan adanya God Spot yang menyebabkan manusia takut berdosa pada Tuhannya (www.ums.ac.id). Begitu juga teori kebutuhan Maslow yang tidak bisa dikaitkan dengan motivasi mengabdi seumur hidup yang dimiliki oleh abdi dalem Keraton Yogyakarta. Ini karena psikologi Barat tidak mampu menyentuh aspek spiritualitas yang bukan termasuk wilayahnya.
Namun tidak pada tempatnya jika kesalahan ditimpakan pada psikologi Barat yang merupakan wujud dari indigenisasi psikologi yang berhasil. Sebab psikologi Barat lahir sebagai refleksi kehidupan dan kultur Barat yang diharapkan bermanfaat bagi komunitasnya. Kedudukan psikologi Barat seharusnya sebagai kacamata bantu bagi negara-negara berkembang untuk menerapkan psikologi yang sesuai dengan kulturnya. Seperti halnya para lansia yang biasanya membutuhkan kacamata bantu untuk kegiatan membaca, karena salah satu fungsi matanya tidak bekerja optimal. Meskipun dalam melakukan aktivitas sehari-hari ia tidak menggunakan kacamata.
Jika dalam penerapan psikologi Barat terjadi serangan kritik yang bertubi-tubi, maka kekeliruan bukan pada kacamatanya, tetapi pada masyarakat yang menggunakan kacamata tersebut. Oleh karena itu, dibutuhkan kacamata baru yang bisa menjembatani perbedaan.

Semangat Agent Of Change

Penyebaran psikologi Barat di negara-negara berkembang sebenarnya hal yang menguntungkan, karena merangsang masyarakat lokal untuk melakukan indigenisasi psikologi. Psikologi Barat memberikan tantangan terhadap komunitasnya. Perbedaan nilai yang termuat dalam psikologi Barat mengundang critical thinking kaum intelektual. Serangan kritik yang dilancarkan oleh mereka, membuktikan adanya integritas dan kesolidan masyarakat lokal terhadap kultur dan nilai yang dianut. Mereka tidak hanya menerima psikologi Barat sebagai bagian dari arus globalisasi, tetapi ada proses memilah.
Kritik yang konstruktif pun membutuhkan tindak lanjut sebagai perwujudan solusi. Tanpa aksi, kritik hanya sebuah wacana. Masyarakat lokal harus berusaha menciptakan sendiri indigenisasi psikologi yang sesuai. Ini sama halnya dengan majalah Insight, majalah milik Fakultas Psikologi Unair yang masih didominasi kekuasaan dekanat. Akibatnya dalam pelaksanaan program kerja masih harus melewati prosedur panjang dalam pengajuan anggaran dana ke Fakultas. Ini menghambat pencapaian tujuan Insight dan menyebabkan ketergantungan. Motivasi berkarya para anggota menurun dan saling mengeluh tentang pihak dekanat. Mereka mengkritik ketidakadilan yang terjadi. Para anggota menyadari bahwa sebenarnya swadaya dalam pengadaan dana bisa menjadi alternatif untuk mengatasi masalah ini. Namun jika para anggota tidak berusaha membuktikan diri dengan mewujudkan kemandirian tersebut, maka ini hanya akan menjadi kritik tanpa aksi.
Begitu juga dalam menghadapi tantangan mencapai indigenisasi psikologi, negara-negara berkembang perlu mengerahkan usaha. Salah satunya adalah memiliki semangat agent of change. Dalam konteks ini adalah semangat masyarakat untuk berpartisipasi membuat perubahan persepsi dalam masyarakatnya sendiri. Keyakinan akan kevalidan psikologi Barat sebagai parameter psikologi tentu menjadi rintangan tersendiri bagi terwujudnya perubahan. Tetapi adanya kerjasama dan perjuangan terus-menerus bisa membuka peluang keberhasilan. Masyarakat harus membuka mata untuk mengubah persepsi mereka bahwa lahirnya indigenisasi psikologi akan memudahkan dalam menghadapi masalah masyarakat lokal, karena berakar dari nilai dan kultur yang sama.
Semangat agent of change ini pulalah yang mendasari kebangkitan majalah Insight yang telah dua tahun mati suri, karena angka penjualan yang menurun dan tidak ada regenerasi. Pada tahun 2006, Insight muncul dengan para anggota yang memiliki keyakinan untuk mengubah pandangan mahasiswa, bahwa majalah semi jurnal semacam Insight yang biasanya membosankan bisa menjadi majalah yang enak dibaca. Ini dibuktikan dengan mengubah lay-out dan content majalah menjadi lebih bervariasi. Gaya penulisannya pun dibuat seperti feature, sehingga lebih luwes. Mereka tidak takut mengubah pakem yang telah berakar pada Insight sejak awal berdiri. Ini karena adanya keyakinan bahwa dengan berubah, maka akan menuju yang lebih baik.
Upaya indigenisasi psikologi yang dilancarkan oleh negara-negara berkembang sebenarnya lebih pada bentuk adaptasi daripada kompensasi kecemasan. Ini merupakan wujud aktifnya sistem masyarakat lokal dalam menyesuaikan diri dengan penyebaran psikologi Barat. Mereka mengambil nilai-nilai yang sesuai dan menyingkirkan yang tidak sesuai. Indigenisasi psikologi dilakukan agar ilmu psikologi yang diterapkan lebih tepat menganalisa masalah yang dihadapi.
Oleh karena itu, dibutuhkan orientasi ke depan untuk mengubah pola pikir masyarakat tentang kebutuhan akan indigenisasi psikologi. Perubahan memang membutuhkan waktu dan proses panjang jika menyangkut komunitas luas. Beranikah kita menjawab tantangan tersebut?

Akar Kelerasan Manusia

PSIKOANALISA ERICH FROMM : MENELUSURI AKAR KEKERASAN MANUSIA

Apakah kekerasan itu suatu potensi bawaan atau bukan? Fromm meninjau kembali konsep agresi psikonalisa Freud, membandingkannya dengan berbagai gejala sifat destruktif individu dan masyarakat.

Fenomena kekerasan pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah kekerasan telah ditampilkan oleh anak turun Adam-Hawa, dengan tewasnya Habil di tangan Qobil. Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur sejarah peradaban manusia. Bahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan “kedaulatan” seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.

Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, menurut Fromm dalam catatan kakinya, adalah adanya perang saudara yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan. Dan kenyataan membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya. Lantas dari sisi psikologi ditanyakan, mengapa manusia selalu muncul sifat destruktifnya dan menjadi begitu tak terkendalikan? Dan mengapa pula manusia berani berbaku hantam sesamanya demi mempertahankan kondisi subjektif narsistiknya? Kondisi itulah yang akan dijelaskan Erich Fromm dalam buku setebal 755 halaman ini.

Dalam buku yang mencoba mengupas akar kekerasan pada diri manusia ini diketengahkan analisa Sigmund Freud dengan teori instingnya maupun Konrad Lorenz dengan teori agresinya, yang mendapat kritik tajam Erich Fromm. Manusia, kata Freud, tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut terbatas. Sehingga kecenderungan agresi, bagi Freud, bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari hasratnya sebagai manusia.

Sedangkan Lorenz mengupas sebab adanya kekerasan adalah dari faktor biologis di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan. Dengan kata lain, bahwa sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan. Malah menurut Lorenz dibentuknya partai politik oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.

Bila pernyataan Freud atau Lorenz benar, bahwa perilaku manusia tidak akan menyimpang dari insting kemanusiaannya dan respon agresi dari faktor eksternal, lantas apa bedanya hewan dengan manusia? Bukankah keduanya sama-sama memiliki insting kehidupan dan kematian? Karena hewan pun mempunyai insting kehidupan, bertahan diri dari serangan atau ancaman dari luar. Nampaknya inilah yang akan menjadi sasaran kritik Fromm. Menurutnya, Freud tak cukup konsekwen dengan konsepnya. Agresi yang tercermin dalam perilaku manusia tak cukup hanya dirangkum dalam satu hasrat. Antara insting pelestarian diri-libido dan insting kehidupan-kematian adalah berlawanan satu sama lain. Dengan demikian Freud telah menyatukan kecenderungan-kecenderungan yang pada kenyataannya bukan merupakan satu kesatuan. Sedangkan teori Lorenz pada intinya ada dua. Pertama, bahwa agresi pada dasarnya sudah tertanam pada diri manusia. Dan yang kedua adanya dorongan tenaga hidrolik, sebagai tenaga pelampiasan melakukan hal keji dan kejam. Menurut Fromm tidak cukup bukti pendukung yang bisa diketengahkan teori tersebut. Karena teori tersebut bersimpul pada satu kategori, yaitu agresi. Sedangkan Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis. Psikoanalisis tersebut pada dasarnya adalah teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri. Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok.

Pada struktur masyarakat modern yang konsumtif sangat membutuhkan sistem sosial di mana ia memiliki tempat tinggal hubungan dengan sesamanya relatif stabil serta didukung oleh nilai-nilai dan gagasan yang diterima secara umum. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masyarakat industri yang terjadi adalah hilangnya tradisi, nilai-nilai sosial dan keterikatan sosial dengan sesama. Fromm menegaskan, yang menjadi penyebab agresi manusia tidak cuma kepadatan penduduk, namun juga rusaknya struktur sosial dan ikatan sosial murni. Dilain pihak, perilaku agresi muncul juga karena kondisi sosial, psikologis, ekonomi, budaya dan politik.

Dalam bab VIII (Antropologi), bagian kedua buku ini, Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya. Pertama, adalah sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan atau kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai. Kedua, sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif -agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifan dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya. Ketiga, sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terjadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.

Ditinjau dari hasrat dan kondisi sosial manusia, baik itu dalam struktur sosial maupun sistem kelompok, akan mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam kepentingan hayatinya. Namun untuk memahami fenomena kedestruktifan manusia tersebut, kata Fromm, yang perlu menjadi perhatian adalah diabaikannya makna dan motivasi spiritual religius ketika dalam suasana dan kondisi yang berkecamuk. Bangsa, negara dan kehormatan warganya menjadi sesuatu yang disembah-sembah, dan kedua pihak yang saling bertikai dengan rela mengorbankan dirinya, anaknya serta harta bendanya demi “sesembahan” tersebut. Di sini Fromm menganalogikan sebuah ritual keagamaan (sekte) ke dalam situasi tak menentu massa, yaitu dengan menggambarkan “seseorang atau kelompok berani bertaruh apa saja demi apa yang dibelanya meski absurd”. Fromm menekankan bahwa untuk memahami semua fenomena kedestruktifan dan kekejaman perlu mendalami motivasi religius yang mungkin ada di dalamnya, bukannya motivasi kedestruktifan dan kekejaman itu sendiri.
Mengapa manusia cenderung menggunakan kekerasan? Apakah kedestruktifan kelompok yang saling bertikai merupakan hasil dari hasrat mempertahankan diri? Dalam pembahasan agresi yang banyak percabangannya, disinggung adanya agresi dan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Sedangkan pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan yang sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya. Namun tentunya ini bikan faktor tunggal, ada motivasi lain yang mungkin lebih dari sekedar demi citra diri kelompok, bertahan maupun penegasan diri atau kelompok.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kedestruktifan maupun kekerasan dalam masyarakat tak jauh dari karakter sosial masyarakat sendiri. Sebab karakter merupakan ciri khas di mana energi manusia ditata untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu bertindak secara naluriah. Kelompok-kelompok manusia sedari dulu hidup dalam suasana keragaman. Konsep karakter sosial didasarkan pada pemahaman bahwa tiap bentuk masyarakat perlu menggunakan kelebihan manusia (dibandingkan dengan hewan) dengan cara-cara yang khas yang diperlukan untuk peranan masyarakat itu sendiri. Proses perubahan energi psikis umum menjadi energi psikososial khusus dijembatani oleh karakter sosial. Pendek kata, masyarakat harus memiliki dan mengetahui keinginan untuk melakukan apa yang harus mereka kerjakan jika ingin tertata baik. Sedangkan sarana pembentuk karakter, menurut Fromm, pada dasarnya bersifat budaya.

Nampaknya buku tebal yang terbagi menjadi tiga bagian dan 13 bab ini enak dibaca. Namun patut pula dicermati, dalam sebuah psikoanalisis, bahwa sifat pembawaan manusia yang cenderung destruktif jika dianggap sebagai kelaziman, berarti sifat destruktif pada manusia adalah suatu kewajaran. Artinya karakter yang memang sudah tertanam pada manusia itu bisa dimaklumi? Sehingga dengan demikian apa yang pernah dilakukan Hitler (Bab XIII mengulas Hitler) bisa dimaklumi karena memang sudah tertanam karakter jahat dan destruktif pada diri Hitler? Pun dalam sebuah pertikaian kelompok sosial. Karena mereka mempunyai “agresi” masing-masing dalam kelompok, meski bisa dihentikan sementara dengan kelebihannya sebagai manusia, maka tidak tertutup kemungkinan kekerasan yang lebih dahsyat akan terjadi lagi. Karena dalam pertikaian sosial antar kelompok dibutuhkan kelompok lain yang lebih tinggi lagi (negara) untuk menengahi dan mengatasi kekerasan massal tersebut. Maka membaca buku Erich Fromm ini kita diajak berdiskusi mengenai jutaan karakter manusia yang mungkin akan selalu berubah sesuai kondisi objektif yang melingkupinya. Karena, memang, buku ini bukan pensuplai tunggal wacana mencari akar kekerasan dan karena buku ini semata-mata lebih bersifat psikoanalisis. Sehingga kita masih membutuhkan wacana lain pembongkar asal mula terjadinya kekerasan. Namun buku ini masih tetap memberi kelayakan pengetahuan yang lebih dari sekedar pengetahuan, meski analisa kondisi subjektif masuk di dalamnya.

Apakah kekerasan itu suatu potensi bawaan atau bukan? Fromm meninjau kembali konsep agresi psikonalisa Freud, membandingkannya dengan berbagai gejala sifat destruktif individu dan masyarakat.

Fenomena kekerasan pada kenyataannya memang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak diturunkannya manusia di dunia, sejarah kekerasan telah ditampilkan oleh anak turun Adam-Hawa, dengan tewasnya Habil di tangan Qobil. Inilah tragedi kekerasan pertama yang disertai dengan pemaksaan kehendak terhadap seseorang dalam literatur sejarah peradaban manusia. Bahkan, sampai sekarang, kekerasan seakan menjadi simbol untuk menjadi penekan atas pengakuan “kedaulatan” seseorang atau kelompok terhadap kelompok lain.

Setidaknya, ornamen kekerasan selalu muncul dalam setiap pergantian sejarah peradaban manusia. Kekerasan akan mencapai puncaknya dengan munculnya tragedi peperangan. Namun peperangan yang paling destruktif dan paling kejam, menurut Fromm dalam catatan kakinya, adalah adanya perang saudara yang tidak saja akan menghancurkan secara fisik, namun lebih jauh akan saling menghancurkan secara ekonomi, sosial, politik kedua pihak yang saling bertikai. Sebab kekerasan tersebut pada akhirnya hanya akan menjadi semacam tradisi bilamana salah satu dari keduanya merasa terancam, yang itu akan bergantung dari besar kecilnya ancaman yang dirasakan. Dan kenyataan membuktikan, dalam kekerasan yang cenderung mentradisi, letupan sekecil apapun akan meledak sedemikian dahsyatnya. Lantas dari sisi psikologi ditanyakan, mengapa manusia selalu muncul sifat destruktifnya dan menjadi begitu tak terkendalikan? Dan mengapa pula manusia berani berbaku hantam sesamanya demi mempertahankan kondisi subjektif narsistiknya? Kondisi itulah yang akan dijelaskan Erich Fromm dalam buku setebal 755 halaman ini.

Dalam buku yang mencoba mengupas akar kekerasan pada diri manusia ini diketengahkan analisa Sigmund Freud dengan teori instingnya maupun Konrad Lorenz dengan teori agresinya, yang mendapat kritik tajam Erich Fromm. Manusia, kata Freud, tidak akan pernah lepas dari insting dominannya, yaitu insting seksual dan insting mempertahankan diri, yang lantas ini diperbarui kembali dengan konsepnya yang menyatakan tentang insting eros (kehidupan) dan insting kematian. Para penganut Freud mengkompromikan insting destruktif sebagai kutub lain dari insting seksual. Sebaliknya, insting kematian bisa menjadi picu merusak diri, atau kecenderungan merusak pihak lain. Hal ini merupakan pengembangan dari asumsi dasar bahwa manusia berada dalam pengaruh dorongan untuk merusak, serta pilihan untuk lepas dari pengaruh tersebut terbatas. Sehingga kecenderungan agresi, bagi Freud, bukan reaksi atas stimulan yang muncul melainkan memang berasal dari dalam diri manusia sendiri. Pendek kata, bahwa perilaku agresi manusia adalah tak lepas dari hasratnya sebagai manusia.

Sedangkan Lorenz mengupas sebab adanya kekerasan adalah dari faktor biologis di luar kendali manusia yang disebabkan kondisi sosial, politik dan ekonomi yang diciptakan oleh manusia sendiri. Energi yang mengumpul dan mengendap siap meledak, meski tanpa adanya stimulan. Dengan kata lain, bahwa sebenarnya agresi sudah ada dan terpasang pada diri tiap manusia. Sehingga dengan stimulan paling kecil pun, atau tanpa adanya stimulan, agresi tersebut tetap akan mencari pelampiasan. Malah menurut Lorenz dibentuknya partai politik oleh manusia adalah guna menemukan stimulan untuk melepaskan energi agresi yang tertekan.

Bila pernyataan Freud atau Lorenz benar, bahwa perilaku manusia tidak akan menyimpang dari insting kemanusiaannya dan respon agresi dari faktor eksternal, lantas apa bedanya hewan dengan manusia? Bukankah keduanya sama-sama memiliki insting kehidupan dan kematian? Karena hewan pun mempunyai insting kehidupan, bertahan diri dari serangan atau ancaman dari luar. Nampaknya inilah yang akan menjadi sasaran kritik Fromm. Menurutnya, Freud tak cukup konsekwen dengan konsepnya. Agresi yang tercermin dalam perilaku manusia tak cukup hanya dirangkum dalam satu hasrat. Antara insting pelestarian diri-libido dan insting kehidupan-kematian adalah berlawanan satu sama lain. Dengan demikian Freud telah menyatukan kecenderungan-kecenderungan yang pada kenyataannya bukan merupakan satu kesatuan. Sedangkan teori Lorenz pada intinya ada dua. Pertama, bahwa agresi pada dasarnya sudah tertanam pada diri manusia. Dan yang kedua adanya dorongan tenaga hidrolik, sebagai tenaga pelampiasan melakukan hal keji dan kejam. Menurut Fromm tidak cukup bukti pendukung yang bisa diketengahkan teori tersebut. Karena teori tersebut bersimpul pada satu kategori, yaitu agresi. Sedangkan Fromm menguraikan agresi dengan pendekatan psikoanalisis. Psikoanalisis tersebut pada dasarnya adalah teori tentang upaya non nurani, resistensi, pemalsuan realita menurut kebutuhan subjektif, harapan, karakter dan konflik antara upaya-upaya berhasrat yang terkandung di dalam ciri pembawaan dengan tuntutan pemertahanan-diri. Sehingga sejauh mana seseorang dapat menekan hasratnya bukan hanya tergantung pada faktor internal diri seseorang, melainkan juga pada situasi. Dengan demikian agresi sama sekali bukan satu-satunya bentuk reaksi terhadap ancaman, meski pada umumnya semua kondisi yang memicu timbulnya perilaku agresif adalah ancaman terhadap kepentingan hayati. Dalam bentuk yang lebih kompleks adalah ancaman terhadap kebutuhan akan ruang fisik dan atau terhadap struktur sosial suatu kelompok.

Pada struktur masyarakat modern yang konsumtif sangat membutuhkan sistem sosial di mana ia memiliki tempat tinggal hubungan dengan sesamanya relatif stabil serta didukung oleh nilai-nilai dan gagasan yang diterima secara umum. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Pada masyarakat industri yang terjadi adalah hilangnya tradisi, nilai-nilai sosial dan keterikatan sosial dengan sesama. Fromm menegaskan, yang menjadi penyebab agresi manusia tidak cuma kepadatan penduduk, namun juga rusaknya struktur sosial dan ikatan sosial murni. Dilain pihak, perilaku agresi muncul juga karena kondisi sosial, psikologis, ekonomi, budaya dan politik.

Dalam bab VIII (Antropologi), bagian kedua buku ini, Fromm membagi sistem struktur masyarakat menjadi tiga bagian berdasar karakter sosialnya. Pertama, adalah sistem A, yaitu masyarakat-masyarakat pecinta kehidupan. Karakter sosial masyarakat ini penuh cita-cita, menjaga kelangsungan dan perkembangan kehidupan dalam segala bentuknya. Dalam sistem masyarakat seperti ini, kedestruktifan atau kekejaman sangat jarang terjadi, tidak didapati hukuman fisik yang merusak. Upaya kerja sama dalam struktur sosial masyarakat seperti ini banyak dijumpai. Kedua, sistem B, yaitu masyarakat non-destruktif -agresif. Masyarakat ini memiliki unsur dasar tidak destruktif, meski bukan hal yang utama, masyarakat ini memandang keagresifan dan kedestruktifan adalah hal biasa. Persaingan, hierarki merupakan hal yang lazim ditemui. Masyarakat ini tidak memiliki kelemah-lembutan, dan saling percaya. Ketiga, sistem C, yaitu masyarakat destruktif. Karakter sosialnya adalah destruktif, agresif, kebrutalan, dendam, pengkhianatan dan penuh dengan permusuhan. Biasanya pada masyarakat seperti ini sangat sering terjadi persaingan, mengutamakan kekayaan, yang jika bukan dalam bentuk materi berupa mengunggulkan simbol.

Ditinjau dari hasrat dan kondisi sosial manusia, baik itu dalam struktur sosial maupun sistem kelompok, akan mempertahankan diri dari bahaya yang mengancam kepentingan hayatinya. Namun untuk memahami fenomena kedestruktifan manusia tersebut, kata Fromm, yang perlu menjadi perhatian adalah diabaikannya makna dan motivasi spiritual religius ketika dalam suasana dan kondisi yang berkecamuk. Bangsa, negara dan kehormatan warganya menjadi sesuatu yang disembah-sembah, dan kedua pihak yang saling bertikai dengan rela mengorbankan dirinya, anaknya serta harta bendanya demi “sesembahan” tersebut. Di sini Fromm menganalogikan sebuah ritual keagamaan (sekte) ke dalam situasi tak menentu massa, yaitu dengan menggambarkan “seseorang atau kelompok berani bertaruh apa saja demi apa yang dibelanya meski absurd”. Fromm menekankan bahwa untuk memahami semua fenomena kedestruktifan dan kekejaman perlu mendalami motivasi religius yang mungkin ada di dalamnya, bukannya motivasi kedestruktifan dan kekejaman itu sendiri.
Mengapa manusia cenderung menggunakan kekerasan? Apakah kedestruktifan kelompok yang saling bertikai merupakan hasil dari hasrat mempertahankan diri? Dalam pembahasan agresi yang banyak percabangannya, disinggung adanya agresi dan narsisisme. Orang yang mempunyai narsistik tinggi merasa sangat perlu mempertahankan citra diri. Jika citra diri itu terancam, akan bereaksi dengan kemarahan yang amat sangat, dengan atau tanpa memperlihatkannya atau tanpa menyadarinya. Sedangkan pada narsisme kelompok, yang menjadi objek adalah kelompok tersebut. Dikatakan bahwa narsisme kelompok merupakan salah satu sumber utama keagresifan manusia. Bila pelecehan simbol narsisme kelompok dilakukan kelompok lain, maka reaksi kemarahan yang sedemikian besar akan terjadi bahkan sangat mendukung kebijakan perang yang dilontarkan pemimpinnya. Namun tentunya ini bikan faktor tunggal, ada motivasi lain yang mungkin lebih dari sekedar demi citra diri kelompok, bertahan maupun penegasan diri atau kelompok.

Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa kedestruktifan maupun kekerasan dalam masyarakat tak jauh dari karakter sosial masyarakat sendiri. Sebab karakter merupakan ciri khas di mana energi manusia ditata untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu bertindak secara naluriah. Kelompok-kelompok manusia sedari dulu hidup dalam suasana keragaman. Konsep karakter sosial didasarkan pada pemahaman bahwa tiap bentuk masyarakat perlu menggunakan kelebihan manusia (dibandingkan dengan hewan) dengan cara-cara yang khas yang diperlukan untuk peranan masyarakat itu sendiri. Proses perubahan energi psikis umum menjadi energi psikososial khusus dijembatani oleh karakter sosial. Pendek kata, masyarakat harus memiliki dan mengetahui keinginan untuk melakukan apa yang harus mereka kerjakan jika ingin tertata baik. Sedangkan sarana pembentuk karakter, menurut Fromm, pada dasarnya bersifat budaya.

Nampaknya buku tebal yang terbagi menjadi tiga bagian dan 13 bab ini enak dibaca. Namun patut pula dicermati, dalam sebuah psikoanalisis, bahwa sifat pembawaan manusia yang cenderung destruktif jika dianggap sebagai kelaziman, berarti sifat destruktif pada manusia adalah suatu kewajaran. Artinya karakter yang memang sudah tertanam pada manusia itu bisa dimaklumi? Sehingga dengan demikian apa yang pernah dilakukan Hitler (Bab XIII mengulas Hitler) bisa dimaklumi karena memang sudah tertanam karakter jahat dan destruktif pada diri Hitler? Pun dalam sebuah pertikaian kelompok sosial. Karena mereka mempunyai “agresi” masing-masing dalam kelompok, meski bisa dihentikan sementara dengan kelebihannya sebagai manusia, maka tidak tertutup kemungkinan kekerasan yang lebih dahsyat akan terjadi lagi. Karena dalam pertikaian sosial antar kelompok dibutuhkan kelompok lain yang lebih tinggi lagi (negara) untuk menengahi dan mengatasi kekerasan massal tersebut. Maka membaca buku Erich Fromm ini kita diajak berdiskusi mengenai jutaan karakter manusia yang mungkin akan selalu berubah sesuai kondisi objektif yang melingkupinya. Karena, memang, buku ini bukan pensuplai tunggal wacana mencari akar kekerasan dan karena buku ini semata-mata lebih bersifat psikoanalisis. Sehingga kita masih membutuhkan wacana lain pembongkar asal mula terjadinya kekerasan. Namun buku ini masih tetap memberi kelayakan pengetahuan yang lebih dari sekedar pengetahuan, meski analisa kondisi subjektif masuk di dalamnya.

PSIKOLOGI TULISAN

MENULIS: CERMIN PSIKOLOGIS MANUSIA

Berawal dari obrolan ringan, seperti kebiasaan yang kami lakukan setiap diskusi berkala di Mizan Study Club. Kali itu, saya kebetulan menjadi pemakalah. Sebelum kami mendiskusikan substansi makalah, kami membiasakan meluangkan waktu sejenak untuk mendiskusikan editing tulisan dan bahasa. “Kamu lagi gelisah yah, Ed?” temanku mulai bertanya setelah membaca beberapa paragraf tulisan saya. “Saya enggak yakin kalau kamu lagi enggak ada masalah?” temanku yang duduk di sebelah ikut berkomentar. “Pasti lagi sibuk atau terburu-buru, iya kan?” timpal yang lain.

Saya terkejut mendengar komentar-komentar itu, saya hanya bisa membalas dengan senyum yang mereka anggap ‘senyum apologi’, mereka mulai mengkritik makalah saya dari huruf, tanda baca, kutipan, catatan kaki, bahasa Indonesia, bahasa serapan, dan lain sebagainya. “Akhirnya ketahuan juga.” Jawabku dalam hati, masih dengan senyum yang kali ini lebih manis. Kebiasaan ini, menjadi sesuatu yang sangat bermanfaat bagi saya dan teman-teman. Dalam setiap kesempatan, kami selalu membudayakan kritik membangun ini.

Menulis memang bisa dijadikan barometer diri si penulis. Apakah si penulis dalam keadaan gelisah, gulinda, terburu-buru, senang, atau tenang? Semua kondisi psikologis manusia ini bisa kita raba, salah satunya melalui tulisan. Bagaimana kaitannya dengan tulisan tangan dan tulisan komputer, apakah ada kemiripan batasan yang bisa digunakan untuk meraba psikologi seseorang?

TULISAN TANGAN
Irene B Levitt, seorang pakar grafologi dan pendiri Handwritting Consultant, LLC, pernah memiliki pengalaman yang sangat bernilai dalam hidupnya. Melalui kegagalannya dalam menyunting profesi sebagai sekretaris eksekutif di Old Santa Fe Trail Association, dia mencoba mendeteksi kekurangannya hingga ia harus menyingkir ketika pelamar yang berhasil menjadi nominasi untuk menyunting profesi itu tinggal dua orang; dirinya (Irene B Levitt) dan orang lain.

Dia merasa terpukul, kenapa harus kalah di ujung pengharapan. Kenapa tidak kalah dalam babak penyisihan? Perasaan bersalah dan menyesal selalu menyelimutinya, sampai akhirnya dia menemukan jawaban saat pemimpin perusahaan itu keluar dari meeting dan menghampirinya. Anda tahu, apa kira-kira kesalahan Irene hingga ia tersisihkan? Bukan, bukan karena dia tidak memberikan uang ‘sogokan’ kepada para pemimpinnya. Bukan juga karena dia kurang cerdas saat test. Yang menjadi hambatan dia untuk menyunting profesi di perusahaan terkemuka itu adalah, hanya karena huruf t. Ya, karena huruf t, Irene mencoret huruf t hampir di bawah tangkai huruf itu pada surat lamaran yang ia tulis.

Ada apa dengan huruf t? Kenapa bisa sangat berpengaruh dalam kehidupan seorang Irene?

Dalam literatur buku-buku grafologi yang ditemukan oleh Irene, ia mendapatkan bahwa huruf t dan coretan di tengahnya (t-bar) merupakan indikator harga diri seseorang. Irene langsung melatih tulisan tangannya hanya untuk memperbaiki tulisan tangannya, ia menulis kata yang memiliki huruf t sebanyak 30 kali setiap sebelum tidur. Irene berhasil memperbaiki tulisan huruf t dan coretan tengahnya (t-bar). Dan yang lebih menggembirakan lagi, Irene mampu menemukan prinsip baru. Kini, ia bisa mengetahui psikologis dirinya atau orang lain melalui tulisan tangannya. Saat ini, grafologi banyak digunakan oleh para ahli ilmu forensik dalam kepolisian, untuk mengidentifikasi pemalsuan dan kemiripan tulisan tangan sesorang.

Dalam bukunya Brain Writing, Irene menuliskan bahwa t-bar merefleksikan seberapa rendah atau tingginya keinginan penulis dan juga konsistensinya. Tingkat ketebalan t-bar mampu merefleksikan sebuah keinginan dalam mencapai tujuan. Sementara itu, penempatan t-bar menggambarkan sikap, sehubungan dengan kesuksesan meraih tujuan si penulis. Makin tebal dan panjang tekanan t-bar, makin kuat keinginan dan semangat si penulis. Sebaliknya, t-bar yang tipis dan pendek, mengidentifikasikan bahwa si penulis bersemangat rendah.

Irene, berhasil mengidentifikasi kekurangan dalam tulisan tangannya. Melalui coretan t (t-bar) yang kini sudah diperbaiki, Irene kembali menjalani kehidupannya dengan penuh semangat dan percaya diri, sampai menjadi pakar grafologi ternama.

TULISAN KOMPUTER
Bagaimana dengan tulisan komputer? Adakah hubungannya dengan pengalaman Irene di atas?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya memang belum mendapatkan literatur yang menjelaskan bahwa psikologis seseorang bisa dideteksi melalui tulisannya. Logika yang saya gunakan di awal tulisan ini, sebenarnya lebih menyandarkan kepada beberapa pengalaman saya bersama teman-teman di kelompok kajian.

Jika Irene mampu mendeteksi psikologinya lewat tulisan tangan, maka, tidak terlalu berlebihan saya pikir, ketika kita mencoba mendeteksi psikologi seseorang lewat tulisan komputer, meskipun dinilai dari sudut pandang yang berbeda.

Dalam hal ini, seperti yang saya tulis di awal, psikologi seseorang bisa diidentifikasi melalui gaya tulisan, penggunaan tanda baca, penggunaan huruf kapital dan non-kapital, penggunaan catatan kaki, penggunaan bahasa serapan, penggunaan literasi bahasa, dan lain sebagainya. Kebiasaan mendiskusikan editing tulisan dan bahasa yang saya alami, sangat berpengaruh dalam kehidupan. Buktinya, ketika tulisan saya yang masih tergolong acak-acakan, dengan penggunaan tanda baca yang tidak beraturan, huruf yang salah, mereka dengan serta merta menyerang saya dengan pertanyaan yang bersifat psikologis.

Sebaliknya, ketika tulisan komputer kita sudah terlihat lebih rapi dan mudah diserap oleh pembaca, dengan literasi bahasa yang baik, penggunaan tanda baca yang benar, penulisan catatan kaki yang sesuai, maka, kondisi kita saat menulis itu, bisa dimungkinkan dalam keadaan tenang dan menyenangkan.

Pada akhirnya, Anda berkuasa untuk menilai dan mendeteksi psikologi seseorang lewat tulisan dan beberapa media lainnya, dan Anda juga dipersilakan mendeteksi psikologi saya lewat tulisan ini. Semoga kita selalu hidup dalam nuansa kritik-membangun. God knows only!

Propil Qu

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : SAMSULUDIN
TTL : Ciamis, 9 Desember 1985
Alamat Rumah : Ciakar RT/RW 02/01 No 38, Pasawahan, Banjarsari,
: Ciamis, Jawa Barat 46383
Status : Alumni S I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Fakultas : Dakwah dan Komunikasi
Jurusan : Bimbingan Konseling Islam
Alamat Tinggal : Masjid Baiturrahim, Gg Musola, RT/RW 02/005 No 58
: Cempaka Putih, Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan
15412
NO Hp : 081 383 976 679 / 021-915 733 12

RIWAYAT PENDIDIKAN

• MI Pasawahan, 1993 - 1998
• MTs Al Islam, Pesantren Al Quran Cijantung Ciamis,1998 - 2001
• MAN Pesantrean Al Quran Cijantung Ciamis, 2001- 2004
• UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004-2008

PENGALAMAN KEPEMIMPINAN ORGANISASI
DAN PENGKADERAN

• Ketua PMR MAN Cijantung Ciamis, 2002
• Wakil Ketua FKM PMR Se Kabupaten Ciamis, 2002
• Kabid Keilmuan PMII KOMFAKDA UIN Jakarta, 2006
• Kabid Keilmuan BEMJ BPI UIN Jakarta, 2006
• Sekjen FKM BPI Se Indonesia, 2006
• Anggota Himpunan Qori Qoriah UIN Jakarta, 2007
• Anggota PUJAAN (Putera Jagad Pasundan) Tangsel, 2008
• Wakil Ketua GALUH JAYA, 2008
• Direktur el_Kaisar (Lembaga Kajian Islam dan Masyarakat), 2008
• Menteri Pendidikan dan Agama BEM UIN Jakarta, 2008
• Peserta Pendidikan Kesadaran Bela Negara Tingkat Nasional, 2008
• Alumni ESQ 165 Program Menegpora, 2008


PENGALAMAN KERJA

• Guru Privat Bahasa Arab, 2005-2008
• Imam dan Khatib tetap Masjid Baiturrahim, 2007-2008
• Konsultan Zakat PKPU kegiatan Ramadhan, 2007
• Konsultan Zakat PLN PUSAT, 2008
• Petugas Amil Zakat Masjid Baiturrahim, Ciputat, 2005-2008
• Traener Kegiatan Pesantren Ramadhan RIMBA (Remaja Islam Masjid Baiturrahim), 2008
• Tim surveyor LSI (Lembaga Survey Indonesia) wilayah Jawa Barat, 2006-2008
• Tim Identivikasi Bantuan Perkuatan Kementrerian Koperasi dan UKM RI, 2008

PRESTASI

• Juara I MTQ Tingkat Anak Anak Se Kec. Banjarsari, 2003
• Juara I MTQ (Syarhil Quran) Kab. Pandeglang, 2006
• Finalis MTQ (Syarhil Quran) Prof. Banten, 2006
• Juara I Lomba Preesenter Se UIN Jakarta, 2007
• Peserta Agro Media Scholarship Wraiting Programme (Penulisan kreatif) dengan judul buku (MCP) Managemen Cinta Pelajar, 2007
• Sebagai pembaca al-Quran pada berbagai kegiatan tingkat Nasional, 2006-2008
• Lulusan terbaik MAN Pesantren al-Qur’an Cijantung Ciamis, 2004
• Lulusan terbaik jurusan Bimbingan Konseling Islam pada wisuda 72 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Yudisium Comlude, 2008

Demikian daftar riwayat hidup ini, saya buat dengan sebenar benarnya, untuk digunakan sebagaimana mestinya.




Ciputat,15 Desember 2008
Salam Hormat,




Samsuludin

SKRIPSI UWA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Inti dari proses pendidikan secara formal adalah mengajar, sedangkan inti dari proses pengajaran adalah siswa belajar. Oleh karena itu mengajar tidak dapat dipisahkan dari belajar. Belajar menunjukan pada apa yang harus dilakukan seseorang sebagai subyek yang menerima pelajaran ( sasaran didik atau siswa ).
Sedangkan mengajar menunjukan pada apa yang harus dilakukan oleh seorang guru yang menjadi pengajar. Dua kegiatan tersebut menjadi terpadu dalam kegiatan manakala terjadi interaksi antara guru dan murid pada saat pengajaran berlangsung ( proses belajar mengajar ) .
Keterpaduan proses belajar murid dengan proses mengajar guru yang disebut proses belajar mengajar haruslah ditunjang oleh pengaturan dan perencanaan yang baik. Karena pengaturan sangat diperlukan dalam menentukan komponen dan variabel yang harus ada dalam proses pengajaran. Sedangkan perencanaan dimaksud merumuskan dan menetapkan hubungan sejumlah komponen yang saling berhubungan satu sama lainya, yakni tujuan, bahan, metode dan teknik / media dan penilaian.
Berkenaan dengan metode dan alat yang dapat digunakan dalam pengajaran hendaklah dipilih atas dasar tujuan dan bahan yang telah ditetapkan. Metode dan alat berfungsi sebagai jembatan atau media tranformasi bahan pengajaran terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Mengenai faktor–faktor yang berpengaruh terhadap keberhasialan pendidikan disekolah (proses belajar mengajar), maka paktor pendidik (guru) lebih menentukan, karena mereka yang akan mengelola dan mengkoordinir sejumlah komponen (tujuan, bahan, metode dan alat serta penilaian) sehingga satu sama lain saling berhubungan dan saling mempengaruhi, dan pada akhirnya dapat menumbuhkan kegiatan murid secara optimal menuju terjadinya perubahan tingkahlaku sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Terkait dengan keberhasilan proses relajar mengajar, metode merupakan faktor yang akan menentukan keberhasilan guru dalam menyampaikan pengajaran dan mempermudah siswa dalam memahami pelajaran. Tentunya metode dalam proses relajar mengajar sangatlah beragam sesuai dengan perkembangan dunia pendidikian diantaranya metode ceramah, diskusi dan metode resitasi.
Agama memiliki peran amat penting dalam kehidupan manusia baik berhubungan dengan fungsi ilahiyah maupun fungsi kehidupan bermasyarakat, agama menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan bermakna, damai dan bermartabat. Menyadari betapa pentingnya peran agama bagi kehidupan maka internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan, yang ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan formal ataupun informal di lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat
Pendidkan agama dimaksudkan untuk meningkatkan potensi spiritual dan membentuk pesrta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Alkhlak mulia mencakup etika, budi pekerti dan moral sebagai wujud dari pendidikan agama. serta bertujuan untuk menghasilkan manusia yang jujur, adil, berbudi pekerti, etis, saling menghargai, disipilin, harmonis, baik personal maupun sosial.
Peningkatan potensi spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nili-nilai tersebut dalam kehidupan individu atau kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spiritual tersebut pada akhirnya bertujuan untuk mengoptimalisasi berbagai potensi manusia sebagai cermion harkat dan martabat sebagai makhluk Tuhan.
Sementara itu menurut keterangan guru Mata Pelajatan Qur`an Hadits Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, bahwa dalam kegiatan proses belajar mengajar (pengajaran) dikelas, guru senantiasa menggunakan beberapa metode mengajar, salah-satunya yang sering digunakan adalah metode resitasi yakni dengan cara memberikan tugas –tugas kepada siswa, baik tugas mengahapal, membaca, menulis dan menterjemahkan ayat Al Qur`an maupun Hadits, dengan kata lain siswa diberi tugas pekerjaan rumah (PR), kemudian pada jam pelajaran / minggu berikutnya tugas tersebut diperiksa dan di evaluasi. Namun pada kenyataannya tugas-tugas tersebut dipersepsi oleh siswa dengan tanggapan yang berbeda–beda, ada yang positif, dan adapula yang menanggapi negatif.
Bagi siswa yang memiliki persepsi positif terhadap metode resitasi, dengan identifikasi bahwa mereka senantiasa memperhatikan dan menyelesaikan tugas-tugas dengan baik dan tepat waktu dan berperan aktif untuk mengikuti instruksi pembelajaran. Dan ada pula siswa yang memiliki persepsi negatif terhadap metode resitasi, mereka kurang memperhatikan dan nampaknya kurang senang dengan tugas-tugas tersebut. Hal ini tercermin dari masih banyaknya hasil pekerjaan siswa yang kurang memuaskan atau tidak sesuai dengan harapan.
Selanjutnya dapat diidentifikasi dari adanya siswa yang kurang konsentrasi, kecenderungan yang nampak adalah tidak bergairah dan tidak bersemangat, tidak mau mengajukan atau menjawab pertanyaan yang diberikan guru, kurang memperhatikan dan menyimak penjelasan dari guru, bahkan ada yang tidak menyalin atau mencatat materi pelajaran dengan baik. Ada pula diantaranya yang mengerjakan tugas secara serampangan, bahkan diantaranya ada yang tidak mengerjakan sama sekali.
Pada sisi lain, apabila dilihat dari hasil yang ingin di capai dalam proses belajar siswa, yaitu terkait dengan prestrasi belajar yang sesuai dengan Kurikulum Satuan Pendidikan (KTSP) yang di keluarkan oleh Ditjen Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI tahun 2006, yaitu mengarah pada aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif. Tentunya ketiga faktor ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui prestasi siswa dalam relajar khususnya dalam mata pelajaran Qura’an Hadits.
Dari kenyataan ini tentu timbul masalah yang perlu dijawab, yakni apakah ada hubungannya antara persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar mereka dalam Mata Pelajaran Qur`an Hadits ?.
Mencermati masalah tersebut diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan mengangkat sebuah judul : “PERSEPSI SISWA TERHADAP PENGGUNAAN METODE RESITASI HUBUNGANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR MEREKA DALAM MATA PELAJARAN QUR`AN HADITS“ (Penelitian di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis)

B. Perumusan Masalah
Dalam pengkajian masalah pada skripsi ini dibatasi hanya untuk meneliti siswa kelas III semester 1 Tahun ajaran 2008-2009, dengan jumlah siswa sebanyak 20 siswa yang terdiri dari 11 siswa dan 9 siswi. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa rumusan masalah dalam skripsi ini adalah :
1. Bagaimana persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi ?
2. Bagaimana prestasi siswa pada mata pelajaran Quran Hadits ?
3. Bagaimana realitas hubungan antara persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar mereka dalam Mata Pelajaran Quar`an Hadits di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis?.
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hedak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi
2. Untuk mengetahui bagaimana prestasi siswa pada mata pelajaran Quran Hadits
3. Untuk mengetahui bagaimana relitas hubungan persepsi siswa rerhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar mereka dalam Mata Pelajaran Qur`an Hadits di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis .


D. Kegunaan Penelitian
1). Kegunaan Secara Ilmiah
1. Dengan hasil penelitian ini penulis sebagai kandidat sarjana strata satu di Institut Agama Islam Darusalam Ciamis dapat menyumbangkan pemikiran melalui karya ilmiah yang tertuang dalam skripsi ini yakni memberikan pembuktian terhadap pentingnya metode resitasi dalam pembelajaran bagi siswa khususnya pada pelajaran Qur’an Hadits.
2. Dengan skripsi ini penulis menyumbangkan pemikiran terhadap berbagai disiplin keilmuan dalam pendidikan khususnya bagi Pendidikan Agama Islam (PAI) yang menjadi kajian khusus pada jurusan Pendidikan Agama Islam di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Darusalam Ciamis.
2.) Kegunaan Secara Praktis
1. Dengan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan kajian, rujukan bagi para praktisi yang mempunyai kepentingan dalam bidang pendidikan siswa, khuhusnya guru-guru pelajaran al-Qur’an Hadits sehingga guru dapat memperbaiki kinerjanya sebagai tenaga profesional yang memiliki pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan sikap yang lebih mantap dan memadai serta mampu mengelola proses belajar mengajar yang efektif khususnya bagi siswa di MIS Pasawahan.
2. Dengan hasil penelitian ini pula dapat diajadikan sebagai sumber motivasi terhadap para siswa untuk mengoptimalkan dalam mengikuti metode resitasi, khusunya pada mata pelajaran Qur`an Hadits, sehingga pada gilirannya dapat mencapai prestasi yang diharapkan. Dan dapat dijadikan sumber motivasi bagi para orang tua siswa khususnya di MIS Pasawahan, unuk mendorong anak-anaknya dalam proses pembelajaran diluar sekolah khususnya metode resitasi.

E. Langkah –Langkah Penelitian
1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, yang beralamat di Dusun Ciakar RT/RW 01/01 Desa Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, 46383, dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut merupakan tempat domisili penulis, sehingga mempermudah untuk mendapatkan data–data yang diperlukan. Sedangkan waktu penelitian direncanakan dapat diselesaikan selama dua bulan yaitu dari tanggal 1 November samapai dengan 30 Desember 2008.
2. Variabel Penelitian
Dari judul skripsi persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar mereka dalam Mata Pelajaran Quar`an Hadits di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, terdapat dua variabel penelitian yaitu ; Pertama Variabel X adalah Persepsi Siswa terhadap Penggunaan Metode Resitasi. Kedua Variabel Y adalah Prestasi Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits (diketahui dari berbagai nilai hasil ujian baik dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik pada kelas 3 Semester 1 tahun ajaran 2008-2009)
3. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi adalah “keseluruhan orang atau benda dalam suatu katagori tertentu “ ( LPP IAID .2001:14 ). Depinisi lain dikemukakan oleh Mardalis yang menyatakan bahwa populasi adalah “ Sekumpulan kasus yang perlu memenuhi syarat–syarat tertentu yang berkaitan dengan masalah penelitian “(Mardalis. 1993 :53) Sedangkan sampel atau sampling berarti contoh yaitu: “Sebagian dari seluruh individu yang menjadi obyek penelitian “. ( Mardalis : 1993 : 55 )
Berdasarkan pejelasan diatas populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa–siswi MI Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis berjumlah 121 orang siswa (Bank data siswa MI Pasawahan) sedangkan sampelnya ditetapkan 20 orang siswa yaitu siswa Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis.
4. Metode Penelitian
Sesuai dengan karakteristik masalah yang diteliti dan pendekatan- pendekatan penelitian yang diguanakan (kuantitatif), metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode diskriftif analisis, yaitu suatu metode penelitian yang diarahkan untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi pada saat ini, dengan cara memaparkan hasil penelitian apaadanya. Penentuan penggunaan metode ini didasarkan atas pendapat Winarno Surakmad yang menyatakan bahwa : “ Aplikasi metode ini dimaksudkan untuk penyelidikan yang tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang”. (Surakhmad 1992: 139 )
Dengan memanfaatkan metode ini, berarti penulis harus mampu menganalisis dan menerjemahkan data yang terhimpun sehingga sampai pada kesimpulan yang logis dan realistis.
5. Teknis Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini sudah barang tentu memerlukan data-data yang akan dijadikan bahan dalam pengumpulan data–data tersebut adalah :
a. Observasi, yaitu dengan mengamati gejala–gejala sosial yang berhubungan dengan masalah penelitian secara berulang-ulang dan mencatatnya. Teknik ini akan diarahkan untuk melihat gambaran umum lokasi penelitian serta berbagai masalah yang diperlukan, mengenai intensitas siswa dalam mengikuti pendidikan disekolah.
b. Angket, yaitu dengan cara menyebarkan pertanyaan–pertanyaan yang telah disiapkan kepada responden, untuk dijawab dengan memilih alternatif jawaban yang telah disediakan (angket tertutup).
c. Wawancara, yaitu merupakan komunikasi Verbal antara peneliti dengan responden untuk memperoleh imformasi yang tidak didapat dari angket dan observasi.
6. Teknis Analisis Data
Dalam menganalisis data variabel X yaitu, persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits , peneliti menggunakan skala likert dengan ketentuan untuk jawaban pernyataan positif, dari skor empat kebawah dan penilaian sebaliknya untuk pernyataan negatif. Adapun nilai positif diberikan skor sebagaimana berikut :

a. Sangat Setuju (SS) diberi skor 5
b. Setuju (S) diberi skor 4
c. Ragu-ragu (RG) diberi skor 3
d. Tidak setuju (TS) diberi skor 2
e. Sangat Tidak Setuju (STS) diberi skor 1
Sedangkan untuk variabel Y yaitu prestasi siswa dalam mata pelajaran Qur’an Hadits, menggunakan sekala data sebagai berikut ;
a. Nilai 0 samapai 2 diberi skor 1
b. Nilai 3 samapi 4 diberi skor 2
c. Nilai 5 sampai 6 diberi skor 3
d. Nilai 7 samapai 8 diberi skor 4
e. Nilai 9 sampai 10 diberi skor 5
Untuk menghubungkan antara dua variabel (hubungan antara persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar mereka dalam Mata Pelajaran Quar`an Hadits di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) peneliti menggunakan rumus Korelasi Product Moment dengan rumus sebagai berikut:

Keterangan:
= Angka indeks korelasi ”r” product moment
N = Number of cases
 = Jumlah skor X
 = Jumlah skor Y
 = Jumlah hasil perkalian antara skor x dan skor y

Untuk menetukan kesimpulan dari angka indeks korelasi “r”, dilakukan interpretasi sederhana, jika nilai “r’ lebih dari -1 maka dinyatakan telah terjadi hubungan dan apabila nilai “r” kurang dari -1 maka dinyatakan tidak ada hubungan. Selanjutnya untuk memberikan interpretasi terhadap besar kecilnya nilai “r” hubungan antara variabel x dan variabel y digunakan interpretasi secara sederhana atau kasar dengan acuan tabel di bawah ini :
Tabel 1
Interpretasi Besarnya Product Moment

BESARNYA “R” PRODUCT MOMENT
INTERPRETASI
0,00 – 0,20 Antara variabel X dan variabel Y memang terdapat korelasi, akan tetapi sangat rendah. Maka dianggap tidak ada korelasi
0,20 – 0,40 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi lemah atau rendah
0,40 – 0,70 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi sedang
0,70 – 0,90 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi kuat atau tinggi
0,90 – 1,00 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi sangat kuat atau sangat tinggi










BAB II
LANDASAN DAN KERANGKA TEORITIS

A. Tinjauan Pustaka
1 Teori-Teori Tentang Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Kata persepsi menurut (Hasan Syazili, 190 : 242) berasal dari kata “perception” yang berarti penglihatan, tanggapan, daya memahami atau menanggapi sesuatu. Sedangkan menurut definisi para ahli banyak mengemukakan pendapat masing-masing berbeda satu sama lain mengenai persepsi.
Untuk memberikan gambaran mengenai pengertian persepsi, penulis memandang perlu untuk mengkaji berbagai pendapat para ahli, antara lain dikemukakan oleh Sarlito Wirawan (1991 : 39), bahwa
“Kemampuan seseorang dalam memberikan tanggapan terhadap suatu objek, kejadian, atau situasi tertentu yang pernah dialami dan dirasakannya sering disebut kemampuan mempersepsi. Kemampuan untuk membeda–bedakan, mengelompokan, mempokuskan atau kemampuan mengorganisasikan pengamatan disebut persepsi”

Sedangkan menurut (Bimo Walgito, 1991 : 54) mengemukakan bahwa : “Persepsi itu merupakan proses pengorganisasian, penginterprestasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan merupakan aktifitas yang integrated dalam diri individu “
Persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menyimpulkan pesan" (Jalalludin Rahmat, 1991 : 51). "Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia” (Slameto, 1991 : 104). Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat indera penglihatan, pendengaran, perasa dan lain sebagainya. Dalam kata lain ,bahwa persepsi adalah : “Proses individu dalam mengenali, memilih, mengorganisasi serta menginterpretasikan sitimulus, sehingga individu memperoleh kesadaran dan pengertian tentang objek yang diamatinya.
Menurut Bimo Walgito, persepsi merupakan ”keadaan integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya”. Stimulus yang diterima oleh individu diorganisasikan kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari, mengerti, tentang apa yang diterima oleh alat penginderanya baik indera penglihat maupun indera pendengarnya.
Dari beberapa pengertian persepsi tersebut, penulis dapat menarik suatu kesimpulan bahwa persepsi adalah proses individu dalam mengenali, memilih, mengorganisasi serta menginterpretasikan stimulus, sehingga individu memperoleh kesadaran dan pengertian tentang objek yang diamatinya. Dalam persepsi, individu menggunakan inderanya untuk menerima suatu pesan atau informasi yang kemudian diproses melalui reseptor, sehingga akan muncul tanggapan atau reaksi yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan membeda-bedakan, mengelompokkan, menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
b. Proses Terjadinya Persepsi
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa persepsi itu merupakan proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah proses diterimanya stimulus melalui alat indera atau reseptor. Stimulus kemudian diteruskan ke otak dan proses selanjutnya adalah proses persepsi. Lebih rinci lagi mengenai proses terjadinya persepsi, Branca sebagaimana dikutip oleh Bimo Walgito (1991 : 53) mengemukakan bahwa :
“Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan. Penginderaan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indera. Namun proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak akan lepas dari proses penginderaan, dan proses penginderaan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses penginderaan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indera. Alat indera merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya.”


Mencermati proses terjadinya persepsi, dapat dikemukakan bahwa stimulus yang diterima oleh alat indera atau reseptor, kemudian melalui proses persepsi sesuatu yang diindera tersebut menjadi sesuatu yang berarti setelah diorganisasikan dan diinterpretasikan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengadakan persepsi menurut Bimo Walgito (1989 : 54).antara lain adalah :
a. Adanya objek yang dipersepsi.
b. Alat indera atau reseptor, yaitu merupakan alat untuk menerima stimulus.
Untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi sesuatu diperlukan pula adanya perhatian, yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi. Tanpa perhatian tidak akan terjadi persepsi.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut Sarlito Wirawan (1991 : 43 - 44) adalah sebagai berikut:
1. Perhatian. Biasanya kita tidak menangkap seluruh rangsangan
yang ada di sekitar, kita sekaligus, tetapi memfokuskan perhatian pada suatu atau dua objek saja.
2. Set. Set adalah harapan seseorang terhadap rangsangan yang timbul.
3. Kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan sesaat maupun menetap pada diri seseorang, akan mempengaruhi persepsi orang tersebut.
4. Sistem Nilai. Sistem nilai yang berlaku dalam suatu kelompok berpengaruh pula terhadap persepsi.
5. Ciri Kepribadian. Ciri kepribadian akan mempengaruhi persepsi.
6. Gangguan Kejiwaan. Gangguan kejiwaan dapat menimbulkan persepsi yang disebut halusinasi.

Sedangkan menurut Bimo Waigito (1989 : 56 - 57), bahwa persepsi dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Faktor individu, yang meliputi : (1) Perhatian, baik perhatian
spontan maupun perhatian tidak spontan; dinamis atau statis; (2)
Sifat struktural individu; simpati atau antipati; (3) Sifat temporer
individu; emosional atau stabil; (4) Aktivitas yang sedang berjalan
pada individu.
2. Faktor stimulus (rangsangan). Stimulus akan dapat disadari oleh individu, bila stimulus itu cukup kuat. Bagaimanapun besarnya perhatian dari individu, tetapi bila stimulus tidak cukup kuat, maka stimulus itu tidak akan dipersepsi oleh individu yang
bersangkutan, dan ini bergantung pada : (1) Intensitas (kekuatan)
stimulus; (2) Ukuran stimulus; (3) Perubahan stimulus: (4)
Ulangan dari stimulus; (5) Pertentangan atau kontra dari stimulus.

2. Metode Resitasi dalam Proses Belajar Mengajar
a. Pengertian Metode Resitasi
H. Z.uhairini dkk (1983 : 86) mengartikan metode resitasi sebagai berikut :
Metode tugas belajar atau resitasi sering disebut pekerjaan rumah, adalah metode dimana murid diberi tugas khusus di luar jam pelajaran. Dalam pelaksanaan metode ini anak-anak dapat mengerjakan tugasnya tidak hanya di rumah, tapi dapat juga dikerjakan di perpustakaan, di laboratorium, di ruang-ruang praktikum, dan lain sebagainya untuk dapat dipertanggungjawabkan kepada guru.

Senada dengan pendapat Abu Ahmadi (1985 : 118), yang menyatakan bahwa : "Metode pemberian tugas belajar (resitasi) sering disebut metode pekerjaan rumah yaitu metode dimana murid diberi tugas khusus di luar jam pelajaran."
Dari kedua batasan tersebut, maka dapat dikemukakan bahwa metode dengan cara memberi tugas-tugas yang berhubungan dengan pelajaran yang harus dikerjakan atau diselesaikan oleh siswa dalam kurun waktu yang sudah ditentukan untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada guru yang bersangkutan.
Dengan demikian metode resitasi dapat dilaksanakan apabila guru menghendaki agar semua pengetahuan yang telah diterima anak lebih mantap, lebih mengaktifkan anak-anak mempelajari sendiri suatu masalah dengan membaca sendiri, mengerjakan sendiri, dan mencoba sendiri.
Selanjutnya menurut Winarno Surakhmad (1986 : 144), bahwa : "Metode pemberian tugas itu terdiri dari tiga fase : pertama, pendidik memberi tugas; kedua, anak didik melaksanakan tugas; dan ketiga ia mempertanggungjawabkan pada pendidik."
Metode resitasi menurut Zuhairini dkk, (1983:86) mengemukakan bahwa
“Metode tugas atau resitasi sering disebut pekerjaan rumah, metode dimana siswa diberikan tugas khusus jam pelajaran. “. Dalam pelaksanaan metode ini siswa dapat mengerjakan tugasnya tidak hanya dirumah, tetapi dapat juga dikerjakan diperpustakaan, dilaboratorium, diruang-ruang praktikum, dan lain sebagainya untuk dapat dipertanggung jawabkan guru.

Dari pendapat pakar diatas, dapat disimpulkan bahwa metode resitasi adalah metode pengerjaan tugas-tugas pembelajaran yang dilakukan diluar ruangan relajar (kelas). Dalam pelaksanaannya guru dapat memberikan tugas dalam bentuk sejumlah pertanyaan, menghapal, membaca, menulis dan tugas–tugas laianya yang sesuai dengan materi pelajaran yang bersangkutan, kemudian hasil pekerjaan siswa dievaluasi.
Dengan metode resitasi ini dapat membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran secara masal disekolah. Dengan metode ini, siswa yang mengalami kesulitan akan terlatih untuk melaksanakan tugas–tugas belajar, sehingga pengmalan dalam mempelajari sesuatu dapat terintegrasi dalam kehidupan sahari-hari.
b. Kebaikan dan Kelemahan Metode Resitasi
Sebagaimana metode-metode mengajar yang lain. metode resitasi juga mempunyai kelebihan dan kekurangan. Zuhairini (1983 : 98), mengemukakan kelebihan dan kekurangan metode resitasi, antara lain :
1. Segi positif (kebaikannya).
1. Baik sekali untuk mengisi waktu luang (senggang) dengan hal-hal yang konstruktif
2. Memupuk rasa tanggung jawab dalam segala pekerjaan, sebab dalam metode ini anak-anak harus mempertanggungjawabkan segala sesuatu (tugas) yang telah dikerjakan.
3. Memberi kebiasaan anak untuk giat belajar.
4. Memberikan tugas anak yang bersifat praktis, umpamanya membuat laporan tentang kegiatan peribadatan di daerah masing-masing, kegiatan amaliah sosial, dan sebagainya.
2. Segi negatif (kekurangannya).
1. Seringkali tugas di rumah itu dikerjakan oleh orang lain, sehingga anak tidak tahu-menahu tentang pekerjaan itu; yang berarti tujuan pelajaran tidak dapat tercapai.
2. Sulit untuk memberikan tugas karena perbedaan individual anak dalam kemampuan dan minat belajar.
3. Seringkali anak-anak tidak mengerjakan tugas dengan baik, cukup hanya menyalin hasil pekerjaan temannya.
4. Apabila tugas itu terlalu banyak dan berat, akan mengganggu keseimbangan mental anak.


c. Penerapan Metode Resitasi dalam Proses Belajar Mengajar
Pada dasarnya metode dan alat yang digunakan dalam pengajaran berfungsi sebagai jembatan atau media transformasi bahan pelajaran terhadap tujuan yang ingin dicapai. Sehubungan dengan alat pendidikan yang berupa metode, hendaknya guru menyadari dan mempertimbangkan hal-hal berikut sebagaimana dikemukakan oleh Zuhairini (1983 : 118), yaitu :
1. Metode hanyalah sebagai suatu pengantar suatu jalan atau alat saja yang digunakan oleh guru.
2. Tidak ada metode yang seratus persen baik; metode yang kelihatannya paling efektifpun masih ada saja kekurangannya.
3. Metode yang paling sesuaipun belum menjamin hasil yang baik
secara otomatis.
4. Suatu metode yang sesuai dengan guru, tidaklah sesuai dengan guru yang lain; karena pribadi guru ikut menentukan pemilihan metode yang dipakainya.
5. Penetapan metode tidaklah dapat berlaku secara tetap untuk selama-lamanya. Dunia pendidikan dan pengajaran selalu berkembang; berubah dan dinamis; untuk dapat menyesuaikan perkembangan dan dinamika itu, maka pemakaian metode haruslah selalu diikuti dengan penelitian dan evaluasi yang dilaksanakan secara kontinue; dengan demikian perbaikan dan revisi dari masa ke masa tidak mungkin dapat diabaikan.

Berdasarkan kesadaran tersebut, maka dalam menghadapi adanya bermacam-macam metode mengajar, seorang guru tidak boleh fanatik terhadap pemakaian satu metode saja. Sebagai sikap yang baik, hendaklah guru selalu bersedia mengadakan eksperimen pemakaian bermacam-macam metode, memilih dan menilai mana yang baik dan paling tepat digunakan. Di samping itu, guru harus mampu mengadakan korelasi dan kombinasi antara satu metode dengan metode lain, sehingga pelajaran (proses belajar mengajar) dapat berlangsung dengan baik dan lebih berhasil.
Berkaitan dengan penggunaan metode resitasi dalam proses belajar mengajar, Zuhairini (1993 : 97), mengemukakan, metode resitasi tepat dipergunakan :
1. Apabila guru mengharapkan agar semua pengetahuan yang telah
diterima anak lebih lengkap.
2. Untuk mengaktifkan anak untuk mempelajari sendiri suatu
masalah dengan membaca sendiri dan mencoba sendiri
mempraktekkan pengetahuannya.
3. Metode ini merangsang anak untuk lebih aktif dan rajin.
"Metode pemberian tugas di rumah dapat juga digunakan dalam rangka mengenal kasus yang mengalami kesulitan belajar di samping untuk mengenal jenis dan sifat kesulitan belajar." (Depdikbud, 1984 : 44). Jadi, metode resitasi dapat juga digunakan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar. Dengan metode ini, mengalami kesulitan akan terlatih untuk melaksanakan tugas-tugas, sehingga pengalaman dalam mempelajari sesuatu dapat terintegrasi.
3. Pendidikan agama Islam
a. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Zuhairini (1983 : 86) mengartikan Pendidikan Agama Islam sebagai "usaha-usaha secara sistemetis dan pragmatis dalam membantu anak didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam".
Zakiah Daradjat (1992 : 86) mengemukakan batasan Pendidikan Agama Islam sebagai berikut:
1. Pendidikan Agama Islam ialah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life).
2. Pendidikan Agama Islam ialah pendidikan yang dilaksanakan
berdasarkan ajaran Islam.
3. Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan dengan melalui
ajaran-ajaran Agama Islam, yaitu berupa bimbingan dan asuhan
terhadap anak didik agar nantinya setelah selesai dari pendidikan ia dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran
Islam yang telah diyakininya secara menyeluruh, serta menjadikan
ajaran Agama Islam itu sebagai suatu pandangan hidupnya demi
keselamatan hidup di dunia maupun di akhirat kelak.

Sementara itu di dalam buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SD (Depag RI, 1986 : 9) dikernukakan bahwa :
1. Pendidikan Agama Islam adalah segala usaha yang berupa
pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak
setelah selesai pendidikannya dapat memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran agamanya sering menjadikannya sebagai way
of life (jalan kehidupan) sehari-hari, baik dalam kehidupan pribadi
maupun sosial kemasyarakan.
2. Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar generasi tua untuk
mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan
keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia
muslim, beriacjwa kepada Allah SWT., berbudi luhur dan
berkepribadian itu yang memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran Islam dalam kehidupannya.
3. Pengertian lain tentang Pendidikan Agama Islam ialah usaha sadar
yang dilakukan orang dewasa terhadap anak didiknya.

Dari beberapa pengertian Pendidikan Agama Islam yang telah penulis kemukakan, kiranya dapat diasumsikan bahwa Pendidikan Agama Islam ialah bimbingan dan asuhan yang diberikan kepada anak dalam pertumbuhan jasmani dan rohani untuk mencapai tingkat kedewasaan sesuai dengan ajaran Islam baik dalam kehidupan pribadi maupun kemasyarakatan demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia maupun kebahagiaan di akhirat.
b. Tujuan Pendidikan Agama Islam
Tujuan Pendidikan merupakan gambaran sasaran yang harus dicapai pendidikan sebagai suatu sistem. Tujuan pendidikan adalah suatu unsur yang sangat menentukan sistem pendidikan itu sendiri. Karena inilah yang merupakan harapan masyarakat akan hasil pendidikan, baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.
Dalam Buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam (1995 : 13) di kemukakan bahwa :
“Tujuan pendidikan Agama Islam adalah meningkatkan ketaqwaan siswa terhadap Tuhan Yang Maha Esa artinya menghayati dan mengamalkan ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan dan menjadi warga negara yang baik dalam negara RI yang berdasarkan Pancasila.

Lebih lanjut pada halaman 18 dikemukakan bahwa Pendidikan Agama mempunyai tujuan-tujuan yang berintikan tiga aspek ilmu, Ilmu dan Amal yang inti pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Menumbuhsuburkan dan mengembangkan serta membentuk sikap
positif, disiplin dan cinta terhadap agama dalam berbagai kehidupan anak yang nantinya menjadi manusia yang bertaqwa
pada Allah SWT.
2. Menumbuhkan dan membina keterampilan beragama dalam semua
lapangan hidup dan kehidupan serta dapat memahami dan
menghayati ajaran Agama Islam secara mendalam dan
menyeluruh.
3. Pengembangan Pengetahuan Agama, membentuk pribadi yang mulia, berakhlak dan bertaqwa kepada Allah SWT dan mempunyai keyakinan yang mantap kepada Allah SWT.

Sementara itu Zuhairini (1983 : 45) mengemukakan tujuan Pendidikan Agama di Lembaga-lembaga pendidikan formal di Indonesia ini dapat dibagi menjadi dua macam, yakni :
1. Tujuan Umum Pendidikan Agama
2. Tujuan Umum Pendidikan Agama ialah membimbing anak agar mereka menjadi orang muslim sejati, beriman, teguh , beramal shaleh, dan berakhlak mulia serta berguna bagi masyarakat, agama, dan negara.
3. Tujuan Khusus Pendidikan Agama
4. Tujuan Khusus Pendidikan Agama ialah tujuan Pendidikan Agama pada setiap tahap/tingkat yang dilalui, seperti misalnya Pendidikan Agama pada SD berbeda dengan tujuan pendidikan agama untuk Sekolah Menengah dan berbeda pula untuk Perguruan Tinggi.

Sementara itu didalam buku Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam pada SD ( Depag RI,1986 : 9) dikemukakan bahwa :
1. Pendidkan Agama Islam adalah usaha yang berupa pengajaran, bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agamanya serta menjadikanya sebagai jalan kehidupan sehari–hari, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial kemasyarakatan.
2. Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia muslim, bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur dan berkepribadian yang memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupannya.

Pengertian lain tentang Pendidikan Agama Islam adalah usaha sadar yang dilakukan orang dewasa terhadap anak didiknya. Menurut (Zuhairini 1983 : 86) mengartiakan Pendidikan Agama Islam sebagai usaha–usaha secara sistematis dan pragmatis dalam membantu anak didik supaya mereka hidup sesuai dengan ajaran Islam.
c. Faktor-faktor Pendidikan Agama Islam
Dalam melaksanakan Pendidikan Agama perlu diperhatikan adanya faktor pendidikan yang ikut menentukan berhasil atau tidaknya Pendidikan Agama tersebut. Dalam hal ini, Zuahirini (1983 : 82) mengemukakan bahwa :
Faktor-faktor pendidikan itu ada 5 macam, dimana faktor yang satu dengan yang lainnya mempunyai hubungan yang erat. Kelima faktor tersebut adalah :
a. Anak didik
b. Pendidik
c. Tujuan Pendidikan
d. Alat-alat pendidikan
e. Milliu/Lingkungan

Untuk lebih jelasnya akan penulis uraikan pembahasan secara singkat masing-masing faktor tersebut, yaitu sebagai berikut:
a. Faktor Anak Didik
Faktor anak didik merupakan salah satu faktor pendidikan yang paling penting, karena tanpa adanya faktor tersebut, maka pendidikan tidak akan berlangsung. Oleh karena itu faktor anak didik tidak dapat digantikan oleh faktor lain.
b. Faktor Pendidik
Pendidik adalah merupakan faktor yang teramat penting karena pendidik itulah yang bertanggung jawab dalam pembentukan pribadi anak didiknya. Terutama pendidikan agama, ia mempunyai tanggung jawab yang lebih berat dibandingkan dengan pendidikan pada umumnya, karena selain bertanggung jawab terhadap pembentukan pribadi anak didik yang sesuai dengan ajaran Islam, ia juga bertanggung jawab kepada Allah SWT.
c. Faktor Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan merupakan arah yang akan dituju oleh pendidikan itu. Demikian halnya dengan pendidikan agama, maka tujuan pendidikan agama itulah yang hendak dicapai dalam kegiatan/pelaksanaan pendidikan agama.
d. Faktor Alat-alat Pendidikan
Yang dimaksud alat pendidikan ialah segala sesuatu yang dipergunakan dalam usaha untuk mencapai tujuan daripada pendidikan. Dengan demikian yang dimaksud alat pendidikan ialah segala sesuatu yang dipakai dalam mencapai tujuan pendidikan agama.

e. Faktor Milliu/Lingkungan
Milliu/lingkungan mempunyai peran yang sangat penting terhadap berhasil tidaknya pendidikan agama. Karena perkembangan jiwa anak itu sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Lingkungan dapat memberikan pengaruh yang positif maupun negatif terhadap pertumbuhan jiwa dalam sikapnya, dalam akhlaknya serta dalam perasaan agama.
b. Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Madrasah Ibtidaiyah
Untuk menguraikan pengertian, fungsi, tujuan, ruang lingkup, dan standar kompetensi, serta pendekatan pembelajaran dan penilaian mata pelajaran Qur'an Hadits di Madrasah Ibtidaiyah (MI), penulis mengutip Kurikulum 2004 Madrasah Ibtidaiyah (2004 : 4-6) sebagai berikut:
a. Pengertian
Mata pelajaran Qur'an Hadits adalah bagian dari mata pelajaran Pendidikan Agama Islam pada Madrasah Ibtidaiyah yang dimaksudkan untk memberikan motivasi, bimbingan, pemahaman, kemampuan, dan penghayatan terhadap isi yang dikandung dalam Al Qur'an dan Hadits untuk mendorong, membina, dan membimbing akhlak dan perilaku peserta didik agar berpedoman kepada dan sesuai dengan isi kandungan ayat-ayat Al Qur'an Hadits.
b. Tujuan
Pembelajaran Al Qur'an Hadits di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk memberikan kemampuan dasar kepada peserta didik dalam membaca, menulis, membiasakan, dan menggemari Al Qur'an dan Hadits serta menanamkan pengertian, pemahaman, penghayatan isi kandungan ayat-ayat Al Qur'an Hadits untuk mendorong, membina, dan membimbing akhlak dan perilaku peserta didik agar berpedoman kepada dan sesuai dengan isi kandungan ayat-ayat Al Qur'an Hadits.
c. Fungsi
1) Menumbuhkembangkan kemampuan peserta didik membaca dan menulis Al Qur'an dan Hadits;
2) Mendorong, membimbing, dan membina kemauan dan kegemaran untuk membaca Al Qur'an dan Hadits;
3) Menanamkan pengertian, pemahaman, penghayatan, dan pengamalan kandungan ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits dalam perilaku peserta didik sehari-hari;
4) Memberikan bekal pengetahuan untuk mengikuti pendidikan pada jenjang yang setingkat lebih tinggi (MTs).
d. Ruang Lingkup
Ruang lingkup pengajaran Qur'an Hadits di madrasah ibtidaiyah meliputi:
1) Pengetahuan dasar membaca dan menulis Al Qur'an;
2) Hafalan surat-surat pendek;
3) Pemahaman kandungan surat-surat pendek;
4) Hadits-hadits tentang kebersihan, niat, menghormati orang tua, persaudaraan, silaturrahim, taqwa, menyayangi anak yatim, shalat berjama'ah, ciri-ciri orang munafiq, dan amal shaleh.

e. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Qur'an Hadits
Standar kompetensi mata pelajaran Qur'an Hadits berisi sekumpulan yang harus dikuasai peserta didik selama menempuh mata pelajaran Qur'an Hadits di ML Kemampuan ini berorientasi kepada perilaku afektif dan psikomotor dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan, ketaqwaan, dan ibadah kepada Allah Swt. Kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam Standar Kompetensi ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang harus dicapai peserta didik di tingkat Ml. Kemampuan-kemampuan tersebut meliputi:
1) Memahami cara melafalkan huruf-huruf hijaiyah dan tanda bacanya;
2) Menyusun kata-kata dengan huruf-huruf hijaiyah baik secara terpisah maupun bersambung;
3) Memahami cara melafalkan dan menghafal surat-surat tertentu dalam Juz 'Amma;
4) Memahami arti surat tertentu dalam Juz 'Amma;
5) Menerapkan kaidah-kaidah ilmu tajuid dalam bacaan Al Qur an;
f. Pendekatan Pembelajaran
Cakupan materi pada setiap aspek dikembangkan dalam suasana pembelajaran yang terpadu, meliputi;
1) Keimanan, yang mendorong peserta didik untuk mengembangkan pemahaman dan keyakinan tentang adanya Allah Swt. sebagai sumber kehidupan;
2) Pengamalan, mengkondisikan peserta didik untuk mempraktekkan dan merasakan hasil-hasil pengamalan isi Al Qur'an dan Hadits dalam kehidupan sehari-hari;
3) Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap dan perilaku yang baik sesuai dengan ajaran Islam yang terkandung dalam Al Qur'an dan Hadits serta dicontohkan oleh para 'ulama;
4) Rasional, usaha meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran Al Qur’an dan Hadits dengan pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi dan nilai-nilai yang ditanamkan mudah dipahami dengan penalaran;
5) Emosional, upaya menggugah perasaan (emosi) peserta didik dalam menghayati kandungan Al Qur’an dan Hadits sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik;
6) Fungsional, menyajikan materi Al Qur'an dan Hadits yang memberikan manfaat nyata bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas;
7) Keteladanan, yaitu pendidikan yang menempatkan dan memerankan guru serta komponen madrasah lainnya sebagai teladan; sebagai cerminan dari individu yang mengamalkan isi Al Qur'an dan Hadits.



g. Penilaian
1) Penilaian yang dilakukan meliputi penilaian kemajuan belajar dan penilaian hasil belajar peserta didik, dan terdiri dari pengetahuan, sikap serta keterampilan mereka.
2) Penilaian kemajuan belajar merupakan pengumpulan informasi tentang kemajuan belajar peserta didik. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kemampuan dasar yang dicapai peserta didik setelah mengikuti kegiatan pembelajaran dalam kurun waktu, unit satuan atau jenjang tertentu.
3) Penilaian hasil belajar Al Qur'an Hadits adalah upaya pengumpulan informasi untuk menentukan tingkat penguasaan peserta didik terhadap suatu kompetensi, meliputi: pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai. Penilaian hasil belajar ini dilakukan sepenuhnya oleh guru/madrasah yang bersangkutan. Hasil penilaian dijadikan sebagai pertimbangan utama dalam memasuki pendidikan jenjang berikutnya.
4) Penilaian hasil belajar Al Qur'an Hadits secara nasional dilakukan dengan mengacu kepada kompetensi dasar, hasil belajar, materi standar, dan indikator yang telah ditetapkan di dalam Kurikulum Nasional. Penilaian secara nasional berfungsi untuk memperoleh informasi dan data tentang mutu hasil penyelenggaraan mata pelajaran Qur'an Hadits.
5) Teknik dan instrumen penilaian hendaknya dapat mengukur dengan tepat kemampuan dan usaha belajar peserta didik.
6) Penilaian dilakukan melalui tes dan non tes.
7) Pengukuran terhadap ranah afektif dapat dilakukan dengan menggunakan cara non tes, seperti skala penilaian, observasi, dan wawancara.
8) Penilaian terhadap ranah psikomotorik dengan tes perbuatan dengan menggunakan lembar pengamatan atau instrumen lainnya.

3. Tinjauan Prestasi Belajar
a. Pengertian Prestasi Belajar
Prestasi menurut (Ngalim Purwanto 1990 : 61) mengemukakan bahwa : “Prestasi adalah pencapaian sebuah target yang sebelumnya dijadikan acuan untuk mengukur dan menilai baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik”
Dari uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar adalah tercapainya sebuah target pembelajaran oleh siswa melalui rangkaian proses pembelajaran yang dapat diukur baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik.
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah dilakukan melalui proses belajar mengajar. Di dalam pelaksanaannya tidak selalu berjalan dengan baik, karena sering terdapat hambatan. Namun hambatan itu masih dapat diatasi apabila dalam proses belajar mengajar dilakukan dengan disiplin.
Tingkat keberhasilan siswa dalam mempelajari materi pelajaran dinyatakan dengan prestasi belajarnya. Prestasi belajar dimaksudkan sebagai tingkat keberhasilan belajar yang dinyatakan dalam bentuk skor, setelah seseorang melakukan proses belajar. Prestasi yang dicapai siswa memberikan gambaran tentang posisi tingkat keberhasilan dirinya dibandingkan dengan siswa lain.
Prestasi belajar dapat menunjukkan tingkat keberhasilan seseorang setelah melakukan proses belajar dalam melakukan perubahan dan perkembangannya. Hal ini disebabkan prestasi belajar merupakan hasil penilaian atas kemampuan, kecakapan, keterampilan-keterampilan tertentu yang dipelajari selama masa belajar.
b. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
1. Fakor Ineternal
Keberhasilan siswa dalam belajar dapat dipengaruhi oleh factor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari dalam diri sendiri, yaitu faktor yang timbul dari dalam diri siswa berupa faktor biologis seperti faktor kesehatan misalnya cacat mental. Sedangkan faktor psikologisnya seperti kecerdasan,bakat, minat, perhatian serta motivasi belajar siswa.
Faktor dominan yang sanagat mempengaruhi prestasi belajar siswa adalah motivasi belajar siswa. Motivasi belajar siswa juga memiliki motivasi siswa dalam belajar memiliki berbagai macam tingkatan. Seorang siswa yang sekolah memiliki motivasi belajar yang tinggi akan rajin mengerjakan segala tugas yang dibebankan kepadanya. Siswa juga akan rajin belajar untuk mengulang semua materi pelajaran yang diberikannya, sehingga pada akhirnya akan mampu mengerjakan soal ujian yang berakibat pada perolehan prestasi yang tinggi pula.
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar adalah latihan. Seorang anak yang memiliki IQ tinggi akan mudah menerima apa yang diberikan oleh guru- gurunya. Apabila diberikan soal untuk diselesaikan anak tersebut mampu mengerjakan. Akan tetapi siswa yang memiliki IQ yang pas-pasan jika disertai dengan latihan yang intensif akan mampu mengerjakan soal yang diberikan oleh gurunya. Dengan latihan yang dilakukan secara terus-menerus akan meningkatkan kemampuan siswa. Dengan keberhasilan mengerjakan soal-soal tersebut, maka prestasi belajarnya akan meningkat.
2. Faktor Eksternal
Faktor yang berasal dari luar meliputi faktor-faktor yang berhubungan dengan lingkungan sekolah, lingkungan masyarakat serta lingkungan keluarga. Pada saat kegiatan belajar mengajar, gaya dan cara seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran berbeda satu dengan yang lainnya. Metode yang digunakan, kebiasaan yang kurang baik yang dilakukan, atau materi yang diberikan oleh guru akan mempengaruhi daya tangkap siswa dalam menyerap materi yang ada.
Kurikulum yang terlalu padat dengan materi yang kurang relevan dengan tujuan pembelajaran, hanya akan membuat bingung siswa, sehingga siswa menjadi kurang termotivasi untuk belajar. Oleh karena itu, perlu mencari penyebab mengapa mereka tidak menguasai mata pelajaran tertentu. Keadaan ini mungkin disebabkan factor tertentu seperti yang disebutkan di atas tadi, sehingga siswa tersebut kurang atau tidak berhasil dalam pelajarannya.
Lingkungan keluarga juga mempunyai hubungan yang erat, terutama yang berkaitan dengan upaya pemotivasian siswa dalam belajar. Keluarga merupakan lembaga pendidikan utama yang berada di luar sekolah yang memberikan andil utama dan mendasar di dalam pembentukan sikap, kepribadian dan kebiasaan.
Dari pembahasan di atas memberi gambaran bahwa tinggi-rendahnya prestasi belajar pada proses pembelajaran itu sangat tergantung seberapa besar masukan pribadi (personal inputs) dan masukan lingkungan (environment inputs) terakomodasi dalam proses pembelajaran tersebut
Sedangkan dalam versi pendidikan islam dikemukakan oleh (Husenin Syahatah, 2004:77) faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi belajar adalah sebagai berikut :
1. Berniat dengan Ikhlas, bahwa setiap siswa diharuskan meluruskan niat dalam pembelajarannya dengan niat ibadah, mengemban tugas dari yang maha kuasa dengan rasa ikhlas untuk mencari keridhaan Allah SWT.
2. Setiap siswa diusahakan untuk menghindari kemaksiatan, karena kemaksiatan dan dosa akan menghalangi konsentrasi seseorang dalam memahami ilmu.
3. Menghargai dan menghormati ilmu dan akhlinya, karena seseungguhnya menghormati dan menghargai ilmu dan guru sebahagian dari kunci keberhasilan dalam belajar.
4. Disiplin dan pandai memanfaatkan waktu belajar, istirahat, bekerja dan berekreasi.
5. Berteman dengan orang dan lingkungan yang tepat, karena faktor pertemanan dan lingkungan akan memiliki pengeruh besar terhadap kepribadian seseorang dan keberhasilan belajar.
6. Dapat menggunakan perangkat modern, karena dengan menguasai tekhnelogi, proses pembelajaran akan lebih mudah efektif dan efisien.

c. Penilaian Prestasi Hasil Belajar Siswa
Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik. Sedangkan evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang, dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidik. Ujian adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu satuan pendidikan
Penilaian hasil belajar oleh pendidik dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, ulangan akhir semester, dan ulangan kenaikan kelas. Penilaian sebagaimana digunakan untuk, menilai pencapaian kompetensi peserta didik, bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar dan memperbaiki proses pembelajaran.
Penilaian hasil belajar kelompok mata pelajaran agama (Qur’an Hadits, dsb) dan akhlak mulia serta kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dilakukan melalui:
a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan afeksi dan kepribadian peserta didik; serta
b. ujian, ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.
a. pengamatan terhadap perubahan perilaku dan sikap untuk menilai perkembangan psikomotorik dan afeksi peserta didik; dan
b. ulangan, dan/atau penugasan untuk mengukur aspek kognitif peserta didik.

4. Hubungan Presepsi Siswa terhadap Metode Resitasi dengan Prestasi
Belajar Siswa pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits
Dalam proses pembelajaran perlu digunakan metode yang sesuai dengan materi pelajaran. Metode resitasi adalah salah-satu dari sekian banyak metode yang dapat digunakan dalam proses belajar-mengajar. Metode resitasi adalah metode pemberian tugas lepada siswa di luar jam pelajaran dimana siswa dituntut untuk membahas dan menyelesaikan tugas sendiri untuk dipertanggungjawabkan kepada guru yang bersangkutan
Salah satu mata pelajaran yang dapat menerapkan metode resitasi ini adalah pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits. Pada mata pelajaran ini guru dapat memberikan tugas hapalan, menulis, membaca, dan menterjemehkan ayat-ayat Al-Qur`an kepada para siswa, kemudian hasil pekerjaan siswa dievaluasi dan didiskusikan bersama.
Keterkaiatan hubungan antara persepsi siswa terhadap metode resitasi dengan prestasi belajar mereka tentunya menjadi permasalahan yang penting untuk dijawab. Dengan mengetahui persepsi siswa terhadap metode resitasi dan dihubungkan dengan nilai prestasi siswa dalam mata pelajaran Qur’an Hadits, maka akan ditemukan gambaran bagaimana hubungan metode resitasi pada pencapaian prestasi siswa pada mata pelajaran Qur’an Hadits.
Apabila siswa memiliki persepsi positif dalam mengikuti metode resitasi, maka selanjutnya diduga adanya hubungan positif dengan prestasi dalam mata pelajaran Qur’an Hadits. Dan sebaliknya untuk siswa yang memiliki persepsi negatif dalam mengikuti metode resitasi maka diduga adanya hubungan negatif dengan prestasi dalam mata pelajaran Qur’an Hadits, atau dalam kata lain metode resitasi kurang dapat diterima.
Dalam proses pembelajaran perlu digunakan berbagai metode yang sesuai dengan materi pelajaran. Pemilihan suatu metode dilandasi atas dasar tujuan dan tahan pelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. Metode dan alat berfungsi sebagai jembatan atau media transformasi bahan pelajaran terhadap tujuan yang ingin dicapai.
Metode resitasi adalah salah satu dari sekian banyak metode yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar. Metode resitasi adalah metode pemberian tugas kepada siswa di luar jam pelajaran, dimana siswa dituntut untuk membahas dan menyelesaikan tugas sendiri untuk dipertanggungjawabkan kepada guru yang bersangkutan.
Salah satu mata pelajaran yang dapat menerapkan metode resitasi ini adalah mata pelajaran Qur'an Hadits. Pada mata pelajaran ini guru dapat memberikan tugas hafalan, menulis, membaca, dan menterjamankan ayat Al Quran kepada para siswa. Kemudian hasil pekerjaan siswa dievaluasi dan didiskusikan bersama.
Dengan mengevaluasi tugas tersebut, akan mendapat gambaran tentang persepsi dan motivasi siswa dalam mengerjakan tugas. Apabila tugas tersebut dapat diterima dan dikerjakan oleh siswa dengan baik, maka diduga adanya persepsi dan motivasi yang positif. Sebaliknya, jika semua tugas yang diberikan oleh guru tidak dikerjakan, maka cenderung persepsi dan motivasi belajar siswa pada mata pelajaran Qur'an Hadits dengan metode resitasi kurang dapat diterima.

B. Kerangka Pemikiran
Dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan perlu diciptakan adanya sistem lingkungan ( kondisi ) yang kondusif. Hal ini tentu akan berkaitan dengan mengajar, karena mengajar pada dasarnya merupakan satu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses belajar. Ada sebahagian siswa yang lebih mudah memahami pelajaran dengan metode ceramah dikelas, adapula siswa yang lebih mudah memahami pelajaran dengan belajar secara tersendiri.
Ada beberapa macam metode yang dapat digunakan oleh seorang guru dalam menyampaikan materi pelajaran, salah satunya adalah metode resitasi atau metode pemberian tugas khusus luar jam pelajaran. Menurut Zuhairi (1983 : 97) mengemukakan bahwa metode resitasi dapat digunakan dalam proses pengajaran dengan pertimbangan :
1. Apabila guru mengharapkan agar semua pengetahuan yang telah diterima anak lebih lengkap.
2. Untuk mengaktifkan anak-anak mempelajari sendiri masalah dengan membaca sendiri, mengerjakan soal-soal sendiri dan mencoba sendiri mempraktekan pengetahuannyan.
3. Metode ini merangsang anak untuk lebih aktif dan rajin.

Berdasarkan pendapat tersebut maka metode resitasi dapat dikatakan tepat apabila digunakan pada proses pengajaran Mata Pelajaran Qur`an Hadits. Dalam hal ini guru dapat memberikan tugas-tugas berupa hapalan, terjemahan, membaca dan menulis/menyalin dengan baik dan benar.
Persepsi adalah proses individu dalam mengenali, memilih, mengorganisasi, serta menginterprestasikan stimulus sehingga individu memperoleh pengertian tentang sesuatu yang diamatinya. Adapun yang dimaksud prestasi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dalam penelitian ini adalah reaksi /tanggapan siswa terhadap tugas-tugas yang diberikan oleh guru Mata Pelajaran Qur`an Hadits di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis.
Prestasi adalah tercapainya sebuah target pembelajaran oleh siswa melalui rangkaian proses pembelajaran yang dapat diukur baik dari segi kognitif, afektif dan psikomotorik. Adapun yang dimaksud dengan prestasi belajar dalam penelitian ini adalah keseluruhan nilai yang dicapai siswa Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis yang diwujudkan dalam bentuk hasil nilai evaluasi pada semester 1 Mata Pelajaran Qur`an Hadits Tahun ajaran 2008-2009. yang merupakan hasil dari nilai aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan demikian, maka permasalahannya adalah sejauh mana kebenaran teori yang mengatakan terhadap hubungan antara persefsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan motivasi belajar mereka pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits dapat dipertahankan, kalau teori tersebut diterapkan pada kenyataan yang melibatkan siswa–siswi di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, harus dipelajari realita kedua variabel. Pada variabel tentang persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits akan didasarkan pada penomena empirik yang melibatkan aspek–aspek : A. Persepsi positif: (1) memahami, (2) respek .’ (3) menyukai (4) menerjakan. (5) merasakan kegunaan B. Persepsi negatif: (1) tidak memahami .(2) acuh.’(3) membenci.’(4) menghindari (5) tidak merasakan kegunaan metode resitasi.
Sedangkan untuk variabel Y sebagai upaya mendeskripsikan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits, maka penulis didasarkan dari data nilai hasil ujian yang meliputi A. Aspek Kognitif (1) nilai komulatif hasil tugas harian (2) nilai hasil ujian tengah semester (3) nilai ujian akhir semester. B. Aspek Afektif (1) nilai komulatif hasil praktikum harian, (2) nilai hasil praktikum ujian tengah semester (3) nilai hasil ujian akhir semester. C. Aspek Psikomotorik yaitu dari hasil penilaian guru kelas terhadap perilaku keseharian siswa. Seluruh pola pikir yang merangkum oprasional penelitian ini apabila disimpulkan dalam sebuah diagram maka dapat digambarkan sebagai berikut
Tabel 2
Operasional Hubungan Variabel X dan Y

Ket. Indikator Sub. Variable Variabel
1. Siswa memahami tujuan dari metode resitasi
2. Siswa respek terhadap metode resitasi
3. Siswa menyukai metode resitasi
4. Siswa mengerjakan tugas dalam metode resitasi
5. Siswa merasakan kegunaan dari metode resitasi



Persepsi Positif



Persepsi Siswa Terhadap Metode Resitasi




1. Siswa tidak memahami tujuan dari metode resitasi
2. Siswa acuh terhadap metode resitasi
3. Siswa membenci metode resitasi
4. Siswa tidak mengerjakan tugas dalam metode resitasi
5. Siswa tidak merasakan kegunaan dari metode resitasi



Persepsi Negatif
1. Nilai hasil tugas harian
2. Nilai hasil ujian tengah semester
3. Nilai hasil ujian akhir semester
Kognitif
Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Quran Hadits
1. Nilai hasil praktikum harian
2. Nilai hasil praktikum tengah semester
3. Nilai hasil praktikum akhir semester

Afektif
1. Hasil penilaian guru kelas terhadap perilaku keseharian siswa. Psikomotorik

C. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan dugaan sementara atau jawaban dari suatu penelitian. Siswanto (2004–10) mengemukakan bahwa : “ Hipotesis adalah kesimpulan sementara yang diyakini kebenerannya oleh peneliti, namun memerlukan pembuktian lebih lanjut”.
Dari rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dapat diasumsikan bahwa prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits salah satunya dipengaruhi oleh persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitsi oleh guru mata pelajaran Qur’an Hadits.
Oleh sebab itu dengan memusatkan perhatian pada subyek penelitian yang melibatkan siswa siswi Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, penulis dapat mengajukan hipotesis kerja (Ha) dan sebagai tandingannya diajukan hipotesis Nol (Ho), yaitu sebagai berikut :
Ho : Terdapat hubungan positif signifikan antara persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar siswa pada Mata Pelajaran Qur`an Hadits
Ha : Tidak adanya hubungan positif signifikan antara persepsi siswa terhadap panggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar siswa pada mata pelajaran Qur`an Hadits.













BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Data Objek Penelitian
1. Gambaran Umum MI Pasawahan
Madrasah Ibtidaiyah (MI) berawal dari Madrasah Diniyah (MADIN) yang pembelajarannnya 60 % pelajaran agama, dan 40 % pelajaran umum. Kemudian berkembang menjadi sekolah umum berciri khas Agama Islam sesuai dengan Undang Undang Tahun 1989. Dengan kebijakan pendidikan di Indonesia sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Madrasah Ibtidaiyah setara atau sama dengan Sekolah Dasar atau SD.
Nama Madrasah ini adalah Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan, sesuai dengan daerah domisili yaitu desa Pasawahan, dengan lembaga penyelenggara yaitu Lembaga Pendidikan Ma’arif dengan alamat : Dusun Ciakar RT/RW 01/01 Desa Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, 46383. Nomor Statistik Madrasah (NSM) ; 112320911062.
Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan berdiri pada tagun 1952 yang merupakan lembaga pendidikan Islam hapan masyarakat sekitar, karena didirikan atas kontribusi, keinginan, dan kerjasama tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat. Kurikulum yang pernah digunakan di Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan yaitu kurikulum 1968, kurikulum 1974, kurikulum 1984 atau yang lebih dikenal dengan kurikulum 1974 yang disempurnakan, kemudian kurikulum 1988, kurikulum 1994. kemudian kurikulum 2004 yang dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), dan sekarang menggunakan kurikulum 2006 atau kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
Perode kepemimpinan Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan, yang pertama yaitu Bapak Adib Supardi pada tahun 1969-1982 di lanjutkan oleh Bapak Djuha, A.Ma dari tahun 1982-2002, kemudian mulai tahun 2002 samapai sekarang digantikan oleh Bapak Furkon Pahrudin, A.Ma.
Lingkungan Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan dilihat dari aspek keagamaan, masyarakatnya semuanya memeluk agama Islam.. Kegiatan keagamaan yang menjadi rutinitas diantaranya adalah pengajian mingguan, pengajian bulanan, dan peringatan peringatan hari besar islam. Hal ini yang menjadi dasar terus bertahannya model pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan samapai sekarang ini tidak terlepas dari dedikasi dan partisipasi masyarakat sekitar.
Selanjutnya diliahat dari tingkat pendidikan masyarakat dilingkungan Madrasah Ibtidaiyah Pasawahan terdiri dari 3% SLTA, 4% SLTA dan 93% SD/MI. Hal ini sangat berhubungan dengan tingkat perekonomian masyarat yang sebahagian besar tergolong pada perekonomian menengah kebawah dengan data, 6% wiraswasta, 10% pedagang, dan 84% petani dan buruh tani.
Tabel 3
SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
MIS PASAWAHAN KECAMATAN BANJARSARI CIAMIS

NO SARANA FISIK JUMLAH KET
1 Ruang Belajar 5
2 Ruang Guru/Kep Sekolah 1
3 Meja Murid 68
4 Kursi Murid 135
5 Meja Guru 11
6 Kursi Guru 11
7 Meja-Kursi Tamu 2 set
8 Lemari 2
9 Komuter 1 set
Tabel 4
KEADAAN GURU DAN TENAGA PENDIDIKAN
MIS PASAWAHAN KECAMATAN BANJARSARI CIAMIS

NO NAMA TEMAPAT TANGGAL LAHIR NIP PEND JABATAN
1 Furqon Pahrudin,A.Ma Ciamis,
07-10-1956 150226768 D.II/ PAI Kepala Sekolah
2 Anang, A.Ma Ciamis,
16-05-1965 150370943 D.II/ PAI Guru
3 M.Jarir, A.Ma Ciamis,
02-08-1970 - D.II/ PAI Guru
4 Yuswandi,A.Ma Ciamis,
10-04-0966 - D.II/ PAI Guru
5 Siti Rohimah Ciamis,
20-04-1978 - SMEA Guru
6 Atikah Ciamis,
15-06-1974 - MA Guru
7 Asep Koswara Ciamis,
24-12-1984 - SMU Guru

Tabel 5
KEADAAN SISWA
MIS PASAWAHAN KECAMATAN BANJARSARI CIAMIS

NO KELAS JENIS KELAMIN JUMLAH KET
L P
1 I 14 13 27 -
2 II 6 11 17 -
3 III 11 9 20 -
4 IV 11 6 17 -
5 V 12 10 22 -
6 VI 6 9 15 -
7 Total 61 58 119 -

Kegiatan belajar mengajar yang berlangsung di MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Ciamis dimulai pada pukul 07.15 samapi dengan pukul 11.55 dengan waktu istirahat satu kali selama 30 menit.
Adapun kegiatan ektrakurikuler yang diselenggarakan di MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Ciamis adalah kegiatan Kepramukaan yang dilaksanakan setiap hari Jumat dari pukul 14.00 samapai dengan 16.00, dan kegiatan Paskibra yang dilaksanakan setiap hari sabtu dari pukul 14.00 samapai dengan 16.00.
Adapun prestasi akademik yang pernah di raih MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Ciamis antara lain :
1. Juara II Lomba Baris Berbaris (LBB) Tingkat SD Se. Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis oleh DANRAMIL 1317 Banjarsari, Tahun 2006.
2. Juara III Lomba Baris Berbaris (LBB) Tingkat SD Se. Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis oleh DANRAMIL 1317 Banjarsari, Tahun 2006.
3. Juara I Lomba Baris Berbaris (LBB) Tingkat SD Se. Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis oleh DANRAMIL 1317 Banjarsari, Tahun 2007.
4. Regu Berprestasi Baik Putera dalam Lomba Tingkat I, Gugus MI Kwaran Banjarsari, di Kawasen Tahun 2004
5. Regu Berprestasi Baik Puteri dalam Lomba Tingkat I, Gugus MI Kwaran Banjarsari, di Kawasen Tahun 2004.
2. Deskripsi Data Siswa Kelas III MI Pasawahan
Siswa di kelas 3 MI Pasawahan yang mejadi sampel penelitian ini berjumlah 20 siswa dengan rincian 11 siswa dan 9 siswi, untuk lebih memperjelas dapat didilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 6
Daftar Nilai Prestasi Belajar Siswa Kelas 3
MI Pasawahan

NO NAMA JK KNH UTS UAS KPH PUTS PUAS PGK
1 Hadi L 8 7 8 8 9 8 8
2 Pipit P 8 8 7 7 8 6 7
3 Isiah Nudin Azhari P 9 8 6 7 7 7 8
4 Mutia P 7 7 6 8 8 8 8
5 Kasiah L 7 8 7 8 8 8 7
6 Tony Q L 8 6 8 8 9 7 8
7 Vebby Khorunnisa P 8 8 6 7 6 6
8 Nurrohman L 6 7 6 7 6 7 9
9 Budianto L 7 8 6 7 8 7 8
10 Bahrul Ulum L 8 8 7 6 8 7 6
11 Agus Salim L 6 8 8 8 9 7 7
12 Supriya L 8 8 8 8 8 7 8
13 Apip Yoekhofifah A P 8 6 9 6 6 9 8
14 Fatimah P 6 6 7 9 7 8 6
15 Zakaria L 7 7 8 9 6 8 9
16 Aidah L.B P 6 8 8 8 6 8 8
17 Ahmad Hani L 6 9 8 8 8 8 8
18 Siti Marzuqoh P 7 8 8 9 7 7 8
19 Tini Apriani P 6 8 8 6 8 7 6
20 Musfaturrahman L 8 9 9 8 8 7 6
Keterangan;
- KNH = Komulatif Nilai Tugas Harian
- UTS = Ujian Tengah Semester
- UAS = Ujian Akhir Semester
- KPH = Komulatif Nilai Praktikum Harian
- PUTS = Praktikum Ujian Tengah Semester
- PUAS = Praktikum Ujian Semester
- PGK = Penilaian sikap dan Perilaku oleh Guru Kelas

B. Realitas Persepsi Siswa Terhadap Penggunaan Metode Resitasi Dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan.
Untuk mengetahui lebih rinci data realitas persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dalam mata pelajaran Quran Hadits dapat dilihat dari hasil angket yang disebarkan kepada 20 responden yang didalamnya meliputi 5 aspek indikator persepsi positif dan 5 indikator negatif. Untk lebih terperinci dari data data yang telah terkumpul maka dapat dilihat dalam tabel tabel dibawah ini :
Tabel 7
Indikator Pemahaman Siswa Terhadap Tujuan Metode Resitasi

JAWABAN FREKUENSI PROSENTASE
Sangat Setuju 5 25 %
Setuju 9 45 %
Ragu-ragu 4 20 %
Tidak Setuju 2 10%
Sangat Tidak Setuju -
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel diatas sebanyak 20 responden siswa kelas 3 MI Pasawahan dapat dapat dijadikan analisa bahwa pemahaman siswa terhadap metode resitasi cukup baik. Selanjutnya untuk mengetahui respon siswa terhadap metode resitasi dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 8
Indikator Repon Terhadap Metode Resitasi

JAWABAN FREKUENSI PROSENTASE
Sangat Setuju 9 45 %
Setuju 8 40 %
Ragu-ragu - -
Tidak Setuju 3 15 %
Sangat Tidak Setuju -
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel diatas sebanyak 20 responden siswa kelas 3 MI Pasawahan dapat dapat dijadikan analisa bahwa respon siswa terhadap metode resitasi cukup baik. Selanjutnya untuk mengetahui respon siswa terhadap sikap menyukai dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 9

Indikator Sikap Siswa Menyukai terhadap Metode Resitasi

JAWABAN FREKUENSI PROSENTASE
Sangat Setuju 7 35%
Setuju 7 35 %
Ragu-ragu 1 5%
Tidak Setuju 5 25 %
Sangat Tidak Setuju -
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel diatas sebanyak 20 responden siswa kelas 3 MI Pasawahan dapat dapat dijadikan analisa bahwa respon siswa terhadap sikap menyukai metode resitasi cukup baik. Selanjutnya untuk mengetahui respon siswa terhadap perilaku mengerjakan tugas dengan metode resitasi dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 10

Indikator Perilaku Mengerjakan Tugas dengan Metode Resitasi

JAWABAN FREKUENSI PROSENTASE
Sangat Setuju 8 40%
Setuju 10 50%
Ragu-ragu - -
Tidak Setuju 2 10%
Sangat Tidak Setuju - -
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel diatas sebanyak 20 responden siswa kelas 3 MI Pasawahan dapat dapat dijadikan analisa bahwa respon terhadap perilaku mengerjakan tugas dengan metode resitasi cukup baik. Selanjutnya untuk mengetahui respon siswa terhadap pemahaman siswa terhadap kegunaan metode resitasi dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 11

Indikator Pemahaman Siswa terhadap Kegunaan Metode Resitasi

JAWABAN FREKUENSI PROSENTASE
Sangat Setuju 5 25 %
Setuju 5 25 %
Ragu-ragu 5 25%
Tidak Setuju 5 25 %
Sangat Tidak Setuju -
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel diatas sebanyak 20 responden siswa kelas 3 MI Pasawahan dapat dapat dijadikan analisa bahwa pemahaman siswa terhadap kegunaan metode resitasi cukup baik. Dari lima indikator persepsi siswa terhadap metode resitasi menunjukan respon persepsi cukup positif.

C. Realitas Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan.
Realitas prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Qur’an hadits di kelas 3 MI Pasawahan dapat dilihat dari 3 aspek penilian yaitu aspek kognitif, afektif dan pskomotorik. Dari tiga aspek ini di kembangkan menjadi 7 ndikator penilaian yaitu nilai komulatif tugas harian, nilai ujian tengah semester, ujian akhir semester, nilai komulatif praktikum harian, nilia praktikum ujian tengah semester, nilai praktikum ujian akhir semester dan penilain perilaku dan sikap keseharian siswa oleh guru kelas. Untuk lebih jelas terkai dengan realitas prestasi siswa dalam mata pelajaran Qur’an Hadits dapat dilihat dari tabel-tabel dibawah ini :


Tabel 12
Nilai Komulatif Tugas Harian
INTERVAL NILAI FREKUENSI PROSENTASE
0-2 - -
3-4 - -
5-6 5 25%
7-8 11 55 %
9-10 4 20%
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel nilai komulatif tugas harian siswa pada sesester 1 kelas 3 MI Pasawahan tahun ajaran 2008-2009 pada mata pelajaran Qur’an Hadits yang menunjukan nilai prosentase cukup baik maka dapat dianalisa secara sedaerhana bahwa secara umum siswa kelas 3 MI Pasawahan pada semester 1 menunjukan niali cukup bagus.
Untuk mengetahui indikator selanjutnya terkait dengan hasil prestasi belajar pada mata pelajaran Qur’an Hadits dapat diketahui dari nilai ujian tengah semester tahun ajaran 2008-2009 sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 13

Nilai Ujian Tengah Semester

INTERVAL NILAI FREKUENSI PROSENTASE
0-2 - -
3-4 - -
5-6 6 30%
7-8 12 60%
9-10 2 10%
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel ujian tengah semester siswa pada sesester 1 kelas 3 MI Pasawahan tahun ajaran 2008-2009 pada mata pelajaran Qur’an Hadits yang menunjukan nilai prosentase cukup, maka dapat dianalisa secara sedaerhana bahwa secara umum siswa kelas 3 MI Pasawahan pada semester 1 menunjukan niali cukup bagus.
Untuk mengetahui indikator selanjutnya terkait dengan hasil prestasi belajar pada mata pelajaran Qur’an Hadits dapat diketahui dari nilai ujian akhir semester tahun ajaran 2008-2009 sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 14
Nilai Ujian Akhir Semester
INTERVAL NILAI FREKUENSI PROSENTASE
0-2 - -
3-4 - -
5-6 5 25%
7-8 13 65%
9-10 2 10%
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel nilai ujian akhir semester (UAS) siswa pada sesester 1 kelas 3 MI Pasawahan tahun ajaran 2008-2009 pada mata pelajaran Qur’an Hadits yang menunjukan nilai prosentase baik, maka dapat dianalisa secara sedaerhana bahwa secara umum siswa kelas 3 MI Pasawahan pada semester 1 menunjukan niali bagus.
Untuk mengetahui indikator selanjutnya terkait dengan hasil prestasi belajar pada mata pelajaran Qur’an Hadits dapat diketahui dari nilai komulatif praktikum harian pada tahun ajaran 2008-2009 sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 15
Nilai Komulatif Praktikum Harian
INTERVAL NILAI FREKUENSI PROSENTASE
0-2 - -
3-4 - -
5-6 3 15%
7-8 14 70 %
9-10 3 15%
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel nilai komulatif praktikum harian siswa pada sesester 1 kelas 3 MI Pasawahan tahun ajaran 2008-2009 pada mata pelajaran Qur’an Hadits yang menunjukan nilai prosentase cukup baik, maka dapat dianalisa secara sedaerhana bahwa secara umum siswa kelas 3 MI Pasawahan pada semester 1 menunjukan niali cukup bagus.
Untuk mengetahui indikator selanjutnya terkait dengan hasil prestasi belajar pada mata pelajaran Qur’an Hadits dapat diketahui dari nilai ujian praktikum tengah semester tahun ajaran 2008-2009 sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 16
Nilai Praktikum Tengah Semester
INTERVAL NILAI FREKUENSI PROSENTASE
0-2 - -
3-4 - -
5-6 5 25%
7-8 12 60%
9-10 3 12%
Jumlah 20 100 %
Dari data tabel nilai praktikum tengah semester siswa pada sesester 1 kelas 3 MI Pasawahan tahun ajaran 2008-2009 pada mata pelajaran Qur’an Hadits yang menunjukan nilai prosentase bagus maka dapat dianalisa secara sedaerhana bahwa secara umum siswa kelas 3 MI Pasawahan pada semester 1 menunjukan niali cukup bagus.
Untuk mengetahui indikator selanjutnya terkait dengan hasil prestasi belajar pada mata pelajaran Qur’an Hadits dapat diketahui dari nilai praktikum ujian akhir semester tahun ajaran 2008-2009 sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 17
Nilai Praktikum Akhir Semester
INTERVAL NILAI FREKUENSI PROSENTASE
0-2 - -
3-4 - -
5-6 5 25%
7-8 14 70%
9-10 1 5%
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel nilai praktikum akhir semester siswa pada sesester 1 kelas 3 MI Pasawahan tahun ajaran 2008-2009 pada mata pelajaran Qur’an Hadits yang menunjukan nilai prosentase baik maka dapat dianalisa secara sedaerhana bahwa secara umum siswa kelas 3 MI Pasawahan pada semester 1 menunjukan niali bagus.
Untuk mengetahui indikator selanjutnya terkait dengan hasil prestasi belajar pada mata pelajaran Qur’an Hadits dapat diketahui dari niali terhadap perilaku keeharian siswa kelas 3 semester 1 tahun ajaran 2008-2009 sebagaimana dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :
Tabel 18
Nilai Komulatif Penilaian Guru Kelas Terhadap Perilaku Keseharian Siswa
INTERVAL NILAI FREKUENSI PROSENTASE
0-2 - -
3-4 - -
5-6 5 25%
7-8 13 65%
9-10 2 10%
Jumlah 20 100 %

Dari data tabel penilaian guru kelas terhadap perilaku keseharian siswa pada sesester 1 kelas 3 MI Pasawahan tahun ajaran 2008-2009 pada mata pelajaran Qur’an Hadits yang menunjukan nilai prosentase cukup baik, maka dapat dianalisa secara sedaerhana bahwa secara umum siswa kelas 3 MI Pasawahan pada semester 1 menunjukan niali cukup bagus.

D. Realitas Hubungan Persepsi Siswa Terhadap Penggunaan Metode Resitasi dengan Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan.
Untuk menghubungkan kedua variabel persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar mereka dalam mata pelajaran Qur’an Hadits di kelas 3 MI Pasawahan Siswa memahami tujuan dari metode resitasi, maka penulis kembali menggabungkan beberapa indikator dari persepsi positif dan negatif siswa yang merupakan hasil penelitian dari angket yang telah disebarkan kepada responden.
Dari beberapa indikator persepsi diantaranya adalah; siswa respek terhadap metode resitasi, siswa menyukai metode resitasi, siswa mengerjakan tugas dalam metode resitasi, siswa merasakan kegunaan dari metode resitasi dan indikator berbalik sebagai indikator negatif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel dibawah ini :
Tabel 19
Variabel X
(Persepsi Siswa Terhadap Pengunaan Metode Resitasi)

NO 1 2 3 4 5 6 7 JML
1 3 5 4 3 4 5 4 28
2 4 5 4 3 4 3 5 28
3 5 5 3 4 5 5 4 31
4 4 4 5 3 5 5 3 29
5 5 3 5 5 5 5 5 33
6 5 5 3 5 5 5 5 33
7 5 5 5 5 2 5 5 32
8 5 3 2 3 5 5 3 26
9 4 2 1 1 5 3 5 21
10 2 2 4 1 2 3 5 19
11 5 4 5 4 5 3 4 30
12 4 4 5 4 5 4 4 31
13 4 3 4 5 3 5 5 29
14 4 5 2 3 4 4 3 25
15 4 3 4 3 4 4 3 25
16 4 2 4 1 4 4 5 23
17 5 3 4 3 2 5 3 25
18 4 4 4 4 4 4 4 28
19 5 5 4 5 2 3 5 29
20 5 4 4 3 4 5 3 28
JML 553

Selanjtnya untuk variabel Y yaitu realitas prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Qur’an hadits di kelas 3 MI Pasawahan dapat dilihat dari 3 aspek penilian yaitu aspek kognitif, afektif dan pskomotorik. Dari tiga aspek ini di kembangkan menjadi 7 ndikator penilaian yaitu nilai komulatif tugas harian, nilai ujian tengah semester, ujian akhir semester, nilai komulatif praktikum harian, nilia praktikum ujian tengah semester, nilai praktikum ujian akhir semester dan penilain perilaku dan sikap keseharian siswa oleh guru kelas. Untuk lebih jelas terkait dengan realitas prestasi siswa dalam mata pelajaran Qur’an Hadits dapat dilihat dari tabel-tabel dibawah ini :
Tabel 21
Data Hasil Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits

NO KNH UTS UAS KPH PUTS PUAS PGK JML
1 4 4 4 4 5 4 4 29
2 4 4 4 4 4 3 4 27
3 4 4 3 4 4 4 4 27
4 4 4 3 4 4 4 4 27
5 4 4 4 4 4 4 4 28
6 4 3 4 4 5 4 4 28
7 4 4 3 4 5 3 3 26
8 3 4 3 4 3 4 5 26
9 4 4 3 4 4 4 4 27
10 4 4 3 3 4 4 3 25
11 3 4 4 4 5 4 4 28
12 4 4 4 4 4 4 4 28
13 4 3 5 3 3 5 4 27
14 3 3 4 5 4 4 3 26
15 4 4 4 5 3 4 5 29
16 3 4 4 4 3 4 4 26
17 3 5 4 4 4 4 4 28
18 4 4 4 5 4 4 4 29
19 3 4 4 4 4 4 3 26
20 4 5 5 4 4 4 3 29
JML 546


Langkah selanjutnya untuk menghubungkan kedua variabel yaitu hubungan antara persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar mereka dalam Mata Pelajaran Quar`an Hadits di Kelas III MIS Pasawahan Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis, sehingga didapatkan sebuah kesimpulan maka diproses dalam sebuah data komulataif sebagai langkah-langkah dari perhirungan product moment sebagai berikut :
Tabel 22
Data Komulatif Variabel X dan Variabel Y
NO SUBJEK X Y XY X2 Y2
1 Hadi 28 29 812 784 841
2 Pipit 28 27 756 784 729
3 Isiah Nudin Azhari 31 27 837 961 729
4 Mutia 29 27 783 841 729
5 Kasiah 33 28 924 1089 784
6 Tony Q 33 28 924 1089 784
7 Vebby Khorunnisa 32 26 832 1024 676
8 Nurrohman 26 26 676 676 676
9 Budianto 21 27 567 441 729
10 Bahrul Ulum 19 25 475 361 625
11 Agus Salim 30 28 840 900 784
12 Supriya 31 28 868 961 784
13 Apip Yoekhofifah A 29 27 783 841 729
14 Fatimah 25 26 650 625 676
15 Zakaria 25 29 725 625 841
16 Aidah L.B 23 26 596 529 676
17 Ahmad Hani 25 28 700 625 784
18 Siti Marzuqoh 28 29 812 784 841
19 Tini Apriani 29 26 754 841 676
20 Musfaturrahman 28 29 812 784 841

N = 30 X =
553 Y =
546 XY 15126 X2
15565 Y2
14934

Dari data diatas selanjutnya dikonfirmasikan dengan rumus product momen yeng menghasilkan sebuah perhitungan sebagai berikut :

r =
=
=
=
=
= 0,357

Dari hasil perhitungan diatas yang menunjukan nilai sebesar 0,357 yaitu nilai yang lebih besar dari – 1. Maka disimpulkan bahwa telah terjadi hubungan positif antara variabel X dan Variabel Y, atau dalam kata lain diartikan bahwa telah terjadi hubungan positif antara Persepsi Siswa Terhadap Penggunaan Metode Resitasi dengan Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan.
Kemudian untuk menginterpretasi besarnya hubungan persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran Qur’an Hadits di kelas III MI Pasawahan dapat diketahui dari besarnya nilai r yaitu 0, 357 yang dikonfirmasikan dengan tabel interpretasi Prodoct Momen sebagai berikut :


Tabel 23
BESARNYA “R” PRODUCT MOMENT
INTERPRETASI
0,00 – 0,20 Antara variabel X dan variabel Y memang terdapat korelasi, akan tetapi sangat rendah. Maka dianggap tidak ada korelasi
0,20 – 0,40 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi lemah atau rendah
0,40 – 0,70 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi sedang
0,70 – 0,90 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi kuat atau tinggi
0,90 – 1,00 Antara variabel X dan variabel Y terdapat korelasi sangat kuat atau sangat tinggi

Dari tabel diatas, menunjukan nilai 0, 353 diinterpretasikan bahwa terjadi hubungan korelasi lemah atau rendah antara variabel X dan variabel Y”. Yang memiliki makna bahwa telah terjadi hubungan lemah antara Persepsi Siswa Terhadap Penggunaan Metode Resitasi dengan Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan.











BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diketahui beberapa kesimupan yaitu :
1. Bahwa realitas siswa kelas III MI Pasawahan memiliki persepsi positif terhadap penggunaan metode resitasi.
2. Bahwa realitas prestasi mata pelajaran Quran Hadits siswa III MI Pasawahan dinilai cukup bagus.
3. Bahwa hubungan antara persepsi siswa terhadap penggunaan metode resitasi dengan prestasi belajar siswa dalam mata pelajaran qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan menunjukan nilai 0,357 yaitu nilai yang lebih besar dari – 1, atau disimpulkan bahwa telah terjadi hubungan positif antara Persepsi Siswa Terhadap Penggunaan Metode Resitasi dengan Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan. Dari data demikian diatas maka secara jelas hipotesa a (Ha) dapat diterima. Selanjutnya bahwa nilai 0, 357 diinterpretasikan makna bahwa telah terjadi hubungan lemah antara Persepsi Siswa Terhadap Penggunaan Metode Resitasi dengan Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan.


B. Saran-saran
Dari data interpretasi diatas, bahwa telah terjadi hubungan lemah antara Persepsi Siswa Terhadap Penggunaan Metode Resitasi dengan Prestasi Belajar Siswa dalam Mata Pelajaran Qur’an Hadits di Kelas III MI Pasawahan, maka penulis memberi masukan sebagai berikut :
1. Kepada siswa Kelas 3 MI Pasawahan diharapkan lebih memperhatikan tugas tugas dalam belajar khususnya dalam metode resitasi yang diberikan guru pelajaran khususnya dalam mata pelajaran Qur’an Hadits.
2. Kepada guru pelajaran Qur’an Hadits diharapkan lebih memotivasi siswa untuk memahami kegunaan dan manfaat dari metode resitasi.
3. Kepada orang tua/wali siswa diharapkan untuk memberikan keluangan waktu untuk siswa belajar dirumah, memotivasi siswa untuk mau belajar dirumah, bahkan diperlukan bimbingan untuk mengerjakan tugas tugas dari sekolah.