Jumat, 11 Desember 2009

BAN II

BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Psikoterapi
1. Pengertian Psikoterapi
Istilah Psikoterapi (Psychoterapy) mempunyai pengertian cukup beragam. Hal ini karena istilah tersebut sering digunakan dalam berbagai bidang operasional ilmu empiris seperti psikiatri, psikologi dan bimbingan penyuluhan. “Dalam prespektif kebahasaan, kata psikoterapi berasal dari dua kata, yaitu “Psyche” dan “Terapy” dapat dipadankan dengan kata “nafs” dalam bentuk jamanya “anfus” atau “nufus” yang berarti jiwa, ruh atau darah”.
Selanjutnya secara etimologis bahwa “psyche” adalah “bagian dari diri manusia, dari aspek yang lebih bersifat ruhaniah atau paling tidak lebih banyak menyinggung sisi dari eksistensi manusia yaitu ruhani”. Adapun kata “terapy” bermakna “pengobatan, penyembuhan”, yang dalam bahasa arabnya sepadan dengan kata “Assyfau” berasal darai “Syafy-Yasyfy-Syafa an” yang berarti “menyembuhkan”.
Dari dua kosa kata tersebut diatas, Hamdani mengungkapkan pengertian dari psikoterapi adalah :
“Perawatan dengan menggunakan alat alat psikologis terhadap permasalahan yang berasal dari kehidupan emosional dimana seorang ahli secara sengaja menciptakan hubungan professional dengan klien, yang bertujuan : (1) menghilangkan, mengubah atau menemukan gejala gejala yang ada, (2) memperbaiki pola tingkah laku yang rusak, dan (3) meningkatkan pertumbuhan serta perkembangan kepribadian positif”.



Sedangkan menurut Andi Mappiare dalam “Kamus Konseling dan Terapi” mengungkapkan pengertian psikoterapi adalah :
“Proses bantuan atau terapi yang melibatkan hubungan antar pribadi dalam menerapkan prinsip-prinsip psikologis untuk menyembuhkan masalah masalah minor ataupun kekacauan pribadi dalam kadar serius. Sebagian orang memandang lebih luas dari konseling karena dapat menggunakan teknik organik medik, sebahagian lagi memandang karena konseling berbidang garap luas, namun sangat sering dipertukarpakaikan dalam suatu pembahasan”.

Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa psikoterapi adalah rangkaian proses penyembuhan terhadap berbagai masalah kejiwaan yang terkait dengan mental dan spiritual dalam meningkatkan perkembangan kepribadian positif .
Dan pada kajian selanjutnya dikenal istilah psikoterapi islam yang memiliki arti “ pengobatan dan penyembuhan suatu penyakit, baik mental, spiritual, moral maupun fisik dengan melalui bimbingan al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW”. Atau secara empiris adalah pengobatan dengan melalui bimbingan dan pengajaran Allah SWT. Malaikat – malaikat-Nya, Nabi dan Rasul-Nya yang tertuang dalam syariat islam yang diajarkan para pewaris-Nya.
2. Objek Psikoterapi
Adapun objek yang menjadi fokus penyembuhan, perawatan, atau dan pengobatan dari Psikoterapi Islam adalah manusia secara utuh. “Pertama, yang berkaiatan yang menyangkut dengan gangguan yang pada mental, yakni yang berhubungan dengan pikiran, akal, ingatan atau proses yang bersosialisasi dengan pikiran akal dan ingatan. Seperti mudah lupa, malas berpikir, tidak mampu berkonsentrasi, tidak mampu mengambil keputusan, tidak bahagia dalam menikmati keadaan, bahkan tidak mampu membedakan antara halal dan haram.
Kedua, Spiritual, yaitu yang berhubungan dengan masalah ruh, jiwa, religius, yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan dan menyangkut nilai nilai tansendental. Seperti; iri, hasud, nifaq, fasiq dan penyakit penyakit hati lainnya. Ketiga, Moral (akhlak), yaitu tingkah laku yang merupakan ekspresi dari kondisi mental dan spiritual. Muncul dan hadir secara spontan dan otomatis, dan tidak dapat dibuat buat atau direkayasa.
Keempat, Fisik (jasmani) gangguan terhadap dapat dilihat secara jelas. Walau tidak setiap penyakit jasmani dapat diobati dengan psikoterapi akan tetapi dalam sejarah Islam telah membuktikan bahwa banyak keterkaitan antara penyembuhan jasmani dengan menggunakan keyakinan terhadap keimanan yang maha kuasa”.
3. Metode Psikoterapi
Metode dalam Psikoterapi Islam dapat dibagi menjadi empat metode, yaitu; “Pertama, metode ilmiah (method of science) yaitu metode yang sering dilaplikasikan dalam dunia pengetahuan pada umumnya. Untuk membuktikan suatu kebenaran dan hipotesa-hipotesa dan dibutuhkan penelitian secara empiris dilapangan.
Kedua, metode keyakinan (method of tenacity) yaitu metode berdasarkan suatu keyakinan yang kuat yang dimiliki oleh seorang peneliti. Adapun keyakinan itu dapat diraih melalui; Pengamatan (ilmul yaqin), aplikatif (ainul yaqin dan (kamalul yaqin) yaitu keyakinan yang sempurna yang menggabungkan beberapa cara.
Ketiga, metode otoritas (method of authority) yaitu suatu metode dengan menggunkan otoritas yang dimiliki oleh seorang peneliti/psikoterapi, merupakan metode yang berdasarkan keahlian, kewibawaan dan pengaruh positif. Atas dasar itulah seorang psikoterapis memiliki hak untuk melakukan tindakan secara bertanguung jawab. Keempat, metode intuisi atau ilham (method of intuition) yaitu metode berdasarkan ilham yang bersifat wahyu yang dari Allah SWT. Metode ini sering dilakukan oleh para sufi dan orang orang yang dekat dengan-Nya dan mereka yang memiliki pandangan batin yang tajam”.

B. Tahfidz al-Qur’an
1. Pengertian
Kata tahfidz merupakan kata dari bahasa Arab yang memiliki arti “menghafal” sedangkan dalam “Kamus Bahasa Indonesia” kata menghafal mempunyai makna “mengetahui dan menyimpannya dalam memori”. Dalam kajian psikologi, menghafal “merupakan proses mental yang meliputi pengkodean, penyimpanan, dan pemanggilan kembali informasi dan pengetahuan”.
Dari pengertian itu, tahfidz al-Qur’an dapat dijelaskan sebagai proses penyimpanan memori lafadz maupun makna ayat ayat al-Qur’an dari mulai surat al-Fatihah samapai surat an-Nas, yang berlanjut pada proses pemanggilan kembali memori hafalannya.


2. Sejarah Tahfidz al-Qur’an
Secara historis menghafal al-Qur’an merupakan anjuran yang disampikan Rasulullah SAW pada awal ayat ayat al-Qur’an diturunkan. Kendatipun pada waktu itu bangsa Arab masih buta huruf, tetapi salah satu kelebihan mereka mempunyai daya ingatan yang kuat. “Bukti hafalan mereka telah teruji dari banyaknya pujangga pujangga masa itu yang hafal syair-syair secara lapal, yang berisi sejarah hidup hingga silsilah keturunan mereka dan peristiwa peristiwa penting dalam kehidupannya misalnya peperangan”.
Setiap diturunkan ayat-ayat al-Qur’an, Nabi menyuruh untuk menghafalnya. Dan untuk menjaga hafalannya Nabi menganjurkan untuk mengajarkan kepada sahabat yang lain, mentashih bacaan dihadapan Nabi secara langsung serta membacanya dalam setiap shalat. Alhasil, banyak sahabat Nabi yang dapat menghafal al-Qur’an secara sempurna dan ditugaskan untuk menuliskannya yaitu Ali bin Abi Thalib, Usman bin Affan, Abu Bakar As-Shidiq, Mu’adz bin Jabal, Abu Zaid, Abu Darda, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit dan Mu ‘awiyah serta ribuan sahabat lainnya.
Penghafal al-Qur’an sejak pada masa Nabi SAW tidak hanya terbatas kaum pria saja, tetapi juga dari kaum wanita. Diantara tokoh kaum wanita dari sahabat Nabi yang dapat menghafal al-Qur’an ialah Hafshah binti Umar dan Ummu Warqah binti Abdullah bin Harts. Ummu Waraqah adalah seorang syahidah yang sudah hafal al-Qur’an. Karena itu Nabi SAW sering kali menziarahinya dengan memanggilnya syahidah. Bahkan ketika hidupnya Nabi memerintahkan agar menjadi imam shalat dirumahnya.
Perjalanan sejarah para penghafal al-Qur’an tidak terhenti pada jaman shahabat saja. ”Pada pada jaman Tabiin dan Tabi’it-Tabi’in terus berkembang, diantara para penghafal al-Qur’an yang masyhur pada waktu itu, diantaranya adalah; Ibnu Musayyab, Urwah, Umar bin Abdul Aziz, Sulaiman bin Yasar, Abdurrahman bin Hurmuz, Khulid bin Sa’id, Amir bin Abdul Qais, Abu Abdurrahman bin As-Sulami, dan lain lain”.
Perkembangan penghafalan al-Qur’an tidak surut hingga jaman keemasan Islam. Hingga jaman sekarang ini, diberbagai negara yang berpenduduk agama islam dari mualai pendidikan anak-anak hingga berbagai perguruan tinggi, bahkan di negara Timur Tengah mewajibkan para sarjananya untuk menghafal al-Qur’an. Dan tidak tertinggal pula para penghafal al-Qur’an ditanah air Indonesia, dari mulai lembaga non-formal hingga lembaga lembaga yang khusus menangani pencetak para penghafal al-Qur’an seperti yang diprakarsai oleh ustadz Yusuf Mansur.
3. Metode Tahfidz al-Qur’an
Metode penghafalan merupakan hal yang penting untuk diperhatiakan bagi para penghafal al-Qur’an. Ada beberapa teknik menghapal Al-Qur`an antara lain; “metode talqin (guru membaca lalu murid menirukan dan jika salah dibenarkan), Tasmi’ (setoran hafalan), Muraja’ah (pengulangan hafalan), mengkaji Tafsir, Tajwid (perbaikan bacaan dan hukumnya) dan Al fahmu thariqul hifzhi, (menggunakan terjemahan Al-Qur’an untuk menghapal)”.

Dalam versi lain dijelaskan ada lima metode; “Pertama metode Wahdah. Yaitu metode dengan terlebih dahulu menghafal satu persatu ayat yang akan dihafal, setiap ayat dibaca berkali-kali hingga sepuluh atau dua puluh kali, sehingga dapat memvisualisasikan huruf-huruf dan membentuk gerak refleks pada lisan. Kedua, metode Khitabah yang berarti menulis. Dalam metode ini penghafal dianjurkan untuk menulis terlebih dahulu, lalu tulisannya dijadikan rujukan untuk membaca dan menghafalnya.
Ketiga, metode Sima’i artinya mendengar. Dalam metode ini terlebih dahulu penghafal mendengarkan ayat ayat yang dihafalnya. Metode ini akan sangat efektif bagi penghafal yang mempunyai daya ingat ekstra, terutama penghafal tunanetra atau anak-anak dibawah umur yang belum bisa membaca al-Qur’an.
Keempat, metode Gabungan, yakni gabungan dari ketiga metode sebelumnya, yaitu metode wahdah, khitobah dan sima’i. Dan metode kelima, adalah metode jama’ yang berarti metode penghafalan al-Qur’an dengan cara kolektif, dibaca secara bersama sama yang dipimpin oleh seorang instruktur”.
Pada prinsipnya metode-metode diatas baik sekali untuk dijadikan pedoman menghafal al-Qur’an sebagai pendukung keberhasilan, baik salah satu diantaranya, atau dipakai semua sebagai alternatif, sehingga tidak terkesan monoton. Untuk penerapannya disesuaikan dengan kemampuan dan kecocokan secara individual”.


4. Keutamaan Tahfidz al-Qur’an
Menghafal al-Qur’an merupakan suatu perbuatan yang sangat terpuji dan mulia. Banyak sekali hadis-hadis Nabi SAW yang mengungkapkan keagungan dan keutamaan orang yang belajar membaca atau menghafal al-Qur’an. Orang-orang yang mempelajari, membaca atau menghafal al-Qur’an merupakan orang-orang pilihan yang memang dipilih oleh Allah untuk menerima warisan kitab suci al-Qur’an. Sehingga para ahli fiqh berpendapat bahwa hukum menghafal al-Qur’an adalah fardu kifayah.
Rasulullah SAW memberikan penghormatan kepada orang-orang yang mempunyai keahlian dalam membaca al-Qur’an dan yang menghafalnya, dengan memberitahukan kedudukan yang dimuliakan, serta mengedepankan mereka dibandingkan sahabat yang belum hafal al-Qur’an. Kecintaan Nabi terhadap penghafal al-Qur’an ditegaskan dalam berbagai hadisnya sebagai berikut :
عَنْ عَلِيٍِّ ابْنِ أَبِي طَالِبٍ (ك. و.) أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَدِّبُوْا أَوْلاَدَكُمْ عَلَى ثَلاَثٍ حُبِّ نَبِيِّكُمْ وَحُبِّ أَهْلِ َبْيتِهِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ فَإِنَّ حَمْلَةَ الْقُرْآنِ فِي ظِلِّ اللهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ مَعَ أَنْبِيَائِهِ وَأَصْفِيَائِهِ (رواه أبو النصر والدرمى)
Artinya ; Dari Ali bin Abi Thalib, bahwa Nabi bersabda: Didiklah anak anakmu akan tiga perkara, mencintai Nabimu, mencintai keluarga Nabi, dan membaca al-Qur’an. Sebab orang orang yang hafal al-Qur’an berada dalam lindungan Allah bersama para Nabi dan orang-orang pilihan Allah, pada hari di mana tidak ada lindungan selain lindungan-Nya”(HR. Abu Nashr dan Ad-Darami)

Balasan Allah SWT di akhirat tidak hanya bagi para penghafal dan ahli Al Qur’an saja, namun cahayanya juga menyentuh kedua orang tuanya. Kedua orang itu mendapatkan kemuliaan Tuhan, karena keduanya berjasa mengarahkan anaknya untuk menghafal dan mempelajari al-Qur’an semenjak kecil.
Allah SWT memberikan keistimewaan bagi orang yang menghapal al-Qur’an. “Pertama, memiliki kedudukan yang tinggi dan penghormatan diantara manusia. Kedua, Para penghafal al-Qur’an diakhirat akan berada dekat dengan Rasulullah saw. Kemudian, al-Qur`an memberikan syafa’at kepada pembacanya, orangtuanya dan keluarganya. Ketiga, Jika seseorang lebih menyibukkan dirinya dengan al-Qur`an dari hal lain, Allah akan mengabulkan permintaannya. Keempat, menghafal al-Qur’an juga akan menguatkan daya nalar dan ingatan, karena terlatih, maka akan mudah menghafal hal-hal lain, Kelima, dengan menghafal al-Qur’an yang membuat tenang, dihormati, bahkan dicintai”.
Keutamaan para penghafal al-Qur’an diantaranya, “Pertama, Tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Kedua, Tentram jiwanya (sakinah). Ketiga, Tajam ingatan dan bersih intuisinya. Keempat, Sebagai bahtera ilmu, Kelima, Memiliki identitas yang baik dan berperilaku jujur. Keenam, Fasih dalam berbicara dan Ketujuh, memiliki do’a yang mustajab”.
5. Karakteristik Penghafal al-Qur’an
Karakteristik adalah “keseluruhan aku yang ternyata dalam tindakannya terlibat dalam situasi, dibawah pengaruh lingkungan, bakat, kebiasaan, keadaan tubuh dan lain-lain”. Dan pada dasarnya watak atau karakter dapat dipengaruhi dan dididik.


Dari definisi diatas, karakteristik dapat dipahami sebagai struktur batin manusia yang nampak dalam tindakan tertentu. Lebih dari tempramen, yang sangat dipengaruhi oleh konstitusi tubuh dan pembawaan lainnya, maka watak atau karakter lebih dipengaruhi oleh lingkungan seperti; pengalaman, pendidikan dan kemauan.
Dalam arti sederhana kepribadian berarti sifat hakiki individu yang tercermin pada sikap dan perbuatan yang membedakan dirinya dari yang lain. Sedangkan menurut tinjauan psikologi kepribadian pada prinsipnya kepribadian adalah “susunan atau kesatuan anata aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan perbuatan)”.
Karakteristik para tahfidz al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh dorongan jiwa dan kebiasaan serta perilaku setiap hari. Gambaran umum karakteristik para tahfidz al-Qur’an diantanya memiliki pola hidup disiplin, konsentrasi dalam menghadapi masalah, memiliki ketenangan jiwa, memiliki keteguhan hati.
Karena karakteristik sangat dipengaruhi oleh dorongan jiwa dan kebiasaan, maka untuk mengetahui karakteristik para tahfidz al-Qur’an dapat dikaji dari tatacara sebelum dan ketika menghafal al-Qur’an yang disebut “adabul qioah”.
Diantara adab membaca al-Qur’an yang perlu diperhatikan menurut Musthofa diantaranya;”(1) Membaca al-Qur’an sesudah berwudu, karena termasuk dzikrullah yang paling mulia, (2) Membacanya ditempat yang suci dan bersih. (3) Membacanya dengan khusyu, tenang dan penuh hikmat. (4) Bersyiwak sebelum memulai membaca. (5) Membaca taawudz sebelum membaca ayat. (6) Membaca basmalah pada setiap permulaan surah, kecuali pada permulaan surah At-Taubah. (7) Membacanya dengan tartil. (8) Tadabur memikir terhadap ayat-ayat yang dibacanya. (9) membacanya dengan jahr (bersuara). (10) membaguskan bacaannya dengan lagu yang merdu”.
Sedangkan adab untuk menghafal al-Qur’an ”dapat memperhatiakan dua pendekatan yaitu pendekatan oprasional dan pendekatan intuitif”. ”Pendekatan pertama yaitu pendekatan operasional. Pendekatan ini sejalan dengan studi-studi ilmu kependidikan modern, bahwa terdapat sifat-sifat individu khusus untuk berperan aktif dalam proses perolehan segala hal yang diinginkan (motivasi), baik studi, pemahaman, hafalan maupun ingatan.
Kedua merupakan pendekatan intuitif (penjernihan batin). Karena al-Qur’an merupakan alkitab yang disucikan sudah selayaknya seseorang yang hendak menghafalnya menata jiwanya sedemikian rupa dan rapi, sehingga ia mempunyai kekuatan, dan ketajaman batin untuk menghafalnya. Hal ini dapat tercapai melalui berbagai cara diantaranya; Qiyamul-Lail (shalat malam), berpuasa sunnah untuk melatih kesabaran dan pengendalian emosi, memperbanayak dzikir dan doa untuk mendapat faidah dari dzikir tersebut”.
Persyaratan penting sebagai pendukung untuk tercapainya penghafalan al-Qur’an adalah ”seyogyanya memperhatiakan diri untuk mampu mengosongkan benaknya dari pikiran-pikiran dan teori-teori atau permasalahan-permasalahan sekitarnya yang akan mengganggunya dan harus membersihkan diri dari segala sesuatu perbuatan yang kemungkinan dapat merendahkan nilai studinya”.
Niat yang ikhlas dengan penuh kesungguhan yang akan memberikan peranan penting dalam melakukan sesuatu, yakni sebagai motor dalam pencapaian tujuan keridhaan Allah SWT. Disamping itu pula, niat juga berfungsi sebagai pengaman dari proses yang sedang dilakukan. Dengan demikian bagi para penghafal al-Qur’an, menghafal al-Qur’an bukan merupakan beban akan tetapi tujuan ibadah untuk mencapai keridhaan-Nya.
Penghafal al-Qur’an harus memiliki keteguhan dan kesabaran, karena dalam proses penghafalan akan banyak ditemui berbagai macam kendala, mungkin kejenuhan, atau bahakan kendala dari luar diri. Tidak kalah pentingnya konsisten atau istiqomah merupakan modal utama dalam menjaga kontinuitas dan efisiensi terhadap waktu.
Menjauhkan diri dari kemaksiatan dan sifat-sifat tercela adalah tugas dan pendukung bagi para penghafal al-Qur’an, karena sesungguhnya perbuatan dosa akan memberikan ruang kegelisahan dalam jiwa manusia dan mengusik ketenangan hati, yang akan mengganggu optimalisasi penghafalan. Selanjutnya hal yang harus diperhatiakan, karena dalam penghafalan al-Qur’an ini memerlukan konsentrasi dan waktu yang cukup lama, maka diperlukan kesamaan tujuan antara penghafal dengan keluarga khususnya kedua orangtua, sehingga disarankan untuk memohon izin dan doa keduanya.
Adapun untuk memperkuat hafalan disarankan “dalam menghafal benar-benar ikhlas, demi mencari keridhaan Allah dan memperoleh kebahagiaan akhirat. Memiliki azam (kemauan) yang keras untuk menyelesaikan hafalan. Memilih waktu dan tempat yang tepat dan kondusif. Mendahulukan bacaan yang benar (tajwid) atas hafalan. Menggunakan satu jenis mushhaf saja, tidak berganti-ganti, melakukan pengulangan yang rutin walau sedikit tapi terus-menerus. Dan memperhatikan ayat-ayat mutasyabihat”.
6. Aspek Psikoterapi dalam Tahfidz al-Qur’an
Menghafal al-Qur’an merupakan proses yang banyak melibatkan berbagai komponen manusia baik psikis, fisik dan religi. Komponen inilah yang menjadi dasar bahwa dalam proses penghafalan al-Qur’an banyak menyinggung aspek psikoterapi yang pada asumsi awal dapat dijadikan landasan bahwa dengan proses menghafal inilah para penghafal al-Qur’an meraih ketenangan pikiran.
Berbagai aspek psikoterapi disampaikan oleh Musthofa yang terkait dalam proses penghafalan al-Qur’an dapat disampiakan sedikitnya telah menyinggung lima aspek psikoterapi yaitu; Pertama, aspek pemusatan pikiran (terapy meditation). Pada mulanya meditasi didefinisikan sebagai kontemplasi, refleksi, merenung dan berfikir secara mendalam. Dalam kajian terapi, meditasi diartikan “sebagai keadaan jasmani rohani yang pasif tetapi aktif dan kreatif dan dalam prakteknya, meditasi dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu meditasi konsentrasi dan meditasi kesadaran”.
Ketiaka seorang menghafal al-Qur’an memilih waktu luang, tempat yang hening, jauh dari keramaian, bahkan tidak jarang yang menyendiri ditempat- tempat terpencil pada waktu tengah malam. Hal ini sebagai usaha untuk memusatkan konsentrasi terhadap bacaan yang dihafalnya yang berpengaruh terhadap kualitas pikirannya.
Efek meditasi pada fisik banyak diteliti oleh para ahli terhadap orang-orang yang melaksanakan meditasi dari berbagai tradisi. Jenis meditasi yang diteliti terutama yoga, zen Buddhisme, atau meditasi yang dikenal dengan meditasi.”Efek yang telah teruji diantaranya pada sistem syarap pusat (otak) yaitu dengan meningkatnya gelombang alfa, dan menurunnya sistem pernapasan”.
Kedua, aspek daya visualisasi (terapy visual imagery). Visualisasi adalah ”membendakan sesuatu yang masih gaib melalui penglihatan mental”. Ketika sesorang sedang menghafal al-Qur’an akan banyak menggunakan visualisasi. Para penghafal al-Qur’an akan membayangkan huruf-perhuruf, ayat-perayat bahkan hingga halaman yang dibaca. Maka banyak para pembimbing tahfidz al-Qur’an menganjurkan untuk tidak berganti-ganti al-Qur’an. Dan selanjutnya ketika menghafal al-Qur’an para tahfidz dianjurkan untuk bertadzakur memahami isi kandungan al-Qur’an yang mempunyai nilai-nilai psikilogis.
Ketiga, aspek system pernapasan (breath meditation). Aspek ini merupakan rangkaian dari terapi meditasi. Mempahatiakan pernapasan merupakan teknik khusus untuk melatih kesadaran, dengan mata tertutup seseorang menahan nafasnya dan merasakan keluar masuknya udara lewat hidung.
Dalam membaca al-Qur’an kaidah bacaan yang ditentukan oleh kidah ilmu Tajwidz bagi seorang pembaca al-Qur’an diwajibkan membaca dengan satu nafas yang berakhir pada tanda bacaan yang ditentukan. Selain dari itu, pembaca al-Qur’an dianjurkan untuk memperbagus bacaan dengan suara dan nada yang indah. Hal ini yang syarat dengan aspek terapi diatas.
Efek dari terapi pernapasan diungkapkan oleh Shafi bahwa “para pelajar meditasi pernapasan (yoga) di secara khas menunjukan 40 hingga 60 persen penurunan dari kecepatan normal yang kecepatannya 16-18 pernafasan permenit. Banyak para yogawan yang lebih berpengalaman mempunyai basis kecepatan kira-kira enam pernapasan permenit”.
Keempat, aspek penebaran aura positif (terapy religius). Dijelaskan dalam ilmu kejiwaan, “bahwa dalam tubuh manusia dapat memancarkan medan medan energi yang disebut dengan aura”. Dalam al-Qur’an banyak berisikan doa-doa. Do’a, yang berarti seruan menyampaikan ungkapan, permintaan, permohonan pertolongan dengan tulus ikhlas kepada Allah.
Inilah satu sisi paling penting dalam menghafal al-Qur’an. Dengan banyaknya membaca al-Qur’an yang berisikan do’a-do’a, harapan, janji Allah yang menumbuhkan aura positif terhadap jiwa dan pikiran. Pengaruh menguntungkan dari keimanan yang tergali dari bacaan al-Qur’an, selain merupakan ibadah yang menentremakan jiwa juga hal ini dapat mempercepat penyembuhan terhadap berbagai penyakit adalah sesuatu telah menarik perhatian dari dan dianjurkan oleh para dokter.
Menurut pendataan Zakiah Daradjat dalam bukunya ”Ilmu kesehatan mental” yang dikutip dari Newsweek (Amerika) bahwa “hampir 72% masyarakat Amerika mengatakan mereka percaya bahwa berdoa atau mengembalikan keimanan terhadap Tuhan seseorang dan berdoa membantu kesembuhan”.
Dan menurut penelitian yang dilakukan di Universitas Michigan, mengemukakan bahwa ”depresi dan stres teramati pada orang-orang yang taat beragama dengan tingkat rendah. Dan, menurut penemuan di Universitas Rush di Chicago, tingkat kematian dini di kalangan orang-orang yang beribadah dan berdoa secara teratur adalah sekitar 25% lebih rendah dibandingkan pada mereka yang tidak memiliki keyakinan agama”.
Kelima, aspek pengulangan kata (terapy mantra). Dalam meditasi sufistik, dzikir merupakan metode yang digunakan oleh para sufi dibawah bimbingan guru dengan nada secara ritmis menyenandungkan dzikir, mengulang-ulang dan seringkali diambil dari sebuah ayat pendek dari al-Qur’an untuk menyampikan pujian doa dan ampunan dari Allah SWT. ”Dalam metode lain para sufi biasa menggunkan syair kerohanian yang merupakan manifestasi dari gejolak kejiwaannya atau merupakan catatan pengalaman guru sufi yang terdahulu”.
Ketika seseorang dalam proses menghafal al-Qur’an pengulangan ayat-ayat sering dilakukan. Bahkan ketika mendapatkan ayat-ayat yang sama, para tahfidz al-Qur’an harus lebih ekstra dalam memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan cara mengulang ulang-ulang sampai hafal.






C. Pikiran
1. Pengertian
Pikiran atau berpikir secara bahasa dapat diartikan sebagai angan-angan, pertimbangan, kreatifitas, proses asosiasi, proses penguatan hubungan antara stimulus dan respon, pemecahan masalah dan perencanaan. Sedangkan menurut Lynn Wilcox, pikiran “merupakan aktifitas yang melibatkan aktifitas syaraf otak dalam menghadapi suatu situasai yang direspon oleh pancaindera”.
Suwardi Tanu mendefinisikan pikiran “sebagai manipulasi dan perpaduan mental dari citra, konsep, kata, aturan, simbol, dan instruksi-instruksi, yang mencakup lamunan, kayalan, pemecahan persoalan dan segala hal yang “diucapkan” secara batin kepada diri sendiri, selain juga hal hal yang bersifat asosiasi bebas”.
Dari penjelasan diatas, pikiran dapat dipahami sebagai suatu kesadaran yang berwujud impuls energi yang terkonstruksi dari non-materi (partikel lebih halus dari atom) yang terbentuk dari hasil suatu proses yang berkaitan dengan aktifitas bagian otak dengan memanfa’atkan potensi organ otak lainnya yang berkoordinasi dengan pancaindera. Atau secara sederhana pikiran adalah suatu hasil dari proses yang berkaiatan dengan aktifitas otak dengan memanfaatkan koordinasi pancaindera (warna, bentuk, bau, suara,dsb).



2. Jenis-Jenis Pikiran
Beberapa teori psikoterapi menekankan bahwa cara berpikir akan sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. Pikiran yang dibebenai atau diracuni oleh berbagai keinginan yang tidak wajar akan menyebabkan pikiran menjadi tidak sehat. Pikiran yang serat dengan ide hanya akan membuat energi yang dihasilkan menjadi racun bagi pikiran itu sendiri sehingga tidak dapat berfikir dengan jernih dan tenang.
Kebahagiaan hidup merupakan angan setiap orang, namun pada kenyataanya tidak setiap orang mengetahui aspek jiwa yang perlu untuk dirawat, diantaranya ketenangan pikiran. Pada umumnya, pikiran tidak terkontrol dan seringkali tidak terarah dengan baik. Jarang yang menyadari bahwa kekuatan pikiran jika terkontrol dan terarah dengan tepat akan mempunyai kekuatan yang dahsyat.
Apabila suatu pikiran telah termanifestasi dalam bentuk suatu tindakan, maka tindakan ini mempunyai efek keluar dan mengandung reaksi dari orang lain maupun dari lingkungan sekitarnya dalam bentuk penilaian, sikap, dan tindakan orang lain terhadap diri kita.
Reaksi positif yang berasal dari lingkungan atas pikiran dan perbuatan akan mengundang rasa bahagia pada diri. Sebaliknya, jika reaksi itu negatif, maka cenderung menjadi merasa sedih, merasa terabaikan atau merasa menyesal terhadap tindakan.


Energi yang ditimbulkan karena rasa khawatir maupun rasa sesal berlebihan hanya akan mengakibatkan stress dan mengundang terjadinya energi emosional serta ketidaktenangan dalam berfikir”. Ketidaktenangan energi dalam benak seseorang akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam berpikir dan memutuskan suatu permasalahan. Oleh sebab itu, seseorang harus dapat memelihara ketenangan pikirannya agar semua yang ada ditubuhnya dapat berfungsi dengan normal.
Hukum keseimbangan alam menjamin, suatu kepuasan dalam bentuk rasa nikmat yang dapat dirasakan dari efek melakukan hal-hal yang positif. Efek positif kedalam diri dapat berupa hidup yang tenang dan damai, mempunyai kesehatan tubuh yang prima. Sedangkan efek positif dari luar diri adalah pengakuan lingkungan terhadap individu yang tercermin dari banyak kawan, disegani dan disenangi dimana berada dan tercermin juga dari keterbukaan orang lain terhadap dirinya.
Pikiran bersifat abstrak tetapi mempunyai sifat seperti sebuah besi magnet yang dapat menimbulkan rentetan pikiran pikiran lain. Ada pikiran yang sependapat ada juga pikiran-pikiran yang banyak berbeda satu sama lainnya. Menurut Suwardi Tanu, jenis-jenis pikiran dilihat dari potensi yang dihasilkannya diungkapkan sebagai berikut :
“pikiran juga mempunyai suatu nilai atau potensi yang tersimpan didalammya. Potensi ini dapat mengganggu atau menyenangkan diri sendiri atau orang lain. Pikiran yang yang diutarakan membuat seseorang menjadi senang dan bahagia dapat disebut pikiran positif. Sebaliknya pikiran yang membuat seseorang menjadi terganggu dan merugikan umumnya dapat disebut sebagai pikiran”.

Dari ungkapan diatas dapat dipahami bahwa jenis-jenis pikiran dilihat dari potensi yang tersimpan didalam pikiran tersebut, dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu pikiran positif dan pikiran negatif.
a. Pikiran Positif
Pikiran positif adalah pikiran yang apabila diungkapkan membuat seseorang menjadi senang dan bahagia. Jenis pikiran ini adalah pikiran yang terkendali, penuh dengan kesadaran tidak tergesa-gesa, penuh konsentrasi. Memiliki daya ketenangan dalam menghadapi berbagai persoalan, memiliki daya imajinasi yang tinggi, dapat mengendalikan emosi dari berbagai keadaan dan selanjutnya pikiran ini lebih cepat menemukan titik kepuasan yang ditandai dengan rasa bersyukur atas setiap keadaan. Pikiran ini pula merupakan sifat dari kedewasaan jiwa seseorang.
Pikiran positif dapat mendatangkan suatu kepusan batin yang tidak dapat dinilai dengan materi atau uang. Semaikin banyak berpikiran positif semakin tinggi tingkat kebahagiaan seseorang, karena pikiran positif dapat menetralkan blokade energi negatif yang telah terjadi didalam tubuh serta dapat menembah kekuatan batin.
b. Pikiran Negatif
Pikiran negatif adalah pikiran yang membuat seseorang menjadi terganggu dan merugikan atas pikirannya sendiri. Jenis pikiran ini ditandai dengan pikiran yang tidak terkendali, penuh dengan panatisme, rasa cemas yang berlebihan, rasa takut, sedih dan tidak bisa mengendalikan emosi.

Pikiran ini tidak bisa menerima keadaan yang dihadipinya, selalu berfikir perbedaan merupakan ancaman. Hal lain adalah pikiran yang berisi rasa iri akan kemajuan orang lain. Pikiran ini telah menimbulkan energi berkualitas negatif dan mengganggu keseimbangan dan kedamaian dirinya. Pikiran-pikiran yang sarat dengan ide hanya akan membuat energi yang dihasilkan menjadi racun bagi pikiran itu sendiri sehingga tidak dapat berpikir dengan jernih dan tenang.
3. Tingkat Ketenangan Pikiran
Adapaun tingkat ketenangan pikiran “setidaknya lima pokok yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan tinggi rendahnya tingkat ketenangan pikiran seseorang yaitu; Pertama, tingkat panatisme dan ketenagan, Panatisme pikiran adalah “dimana seseorang yang berpikiran bahwa yang sudah diketahuinya itu adalah yang terbaik, lalu menutup diri terhadap masuknya informasi baru”.
Sikap ini adalah sikap mempertahankan pendapat dan keyakinannya dengan tidak mengindahkan kenyataan yang ada dan cenderung bersikap egois, tidak toleran terhadap pendapat berbeda. Hal lain dari sifat panatisme adalah keinginan untuk mengusai segala hal yang tercermin dalam sifat keserakahan dan kesombongan.
Pikiran ini akan mengganggu ketenangan diri seseorang. Energi pikiran ini menurut Suwardi Tanu adalah “berupa getaran getaran partikel akan terkirim dari otak ke seluruh tubuh melalui syaraf-syaraf, yang pada akhirnya akan menimbulkan tersumbatnya energi”. Energi yang tersumbat ini menimbulkan radiasi energi ketidaktenangan yang mengganggu kwalitas pikiran.
Pikiran yang cenderung memperbandingkan sesuatu dengan yang lainnya akan menimbulkan ketidaktenangan dalam hidup sehingga kebahagiaan akan sukar diraih. Ketika membandingkan keadaan yang lebih baik dari saat ini dengan keadaan dimasa lalu, tentu kebahagiaan akan dirasa. Tetapi sebaliknya ketika membandingkan keadaan saat ini lebih buruk dari masa lalu yang dirasakan adalah ketegangan.
Kedua, tingkat memahami masalah dan membuat keputusan. Dalam hidup manusia banyak menjumpai masalah-masalah yang perlu untuk segera dipecahkan. Terkadang juga masalah-masalah yang dihadapi merupakan respon dari kondisi yang dianggap sebagai permasalahan. Salah satu fungsi dari pikiran adalah sebagai perangkat dalam memahami masalah secara menyeluruh dan mengambil sebuah keputusan tepat dalam menyelesaikan masalah.
Bertumpuknya berbagai masalah akan mempengaruhi kelambatan pikiran dalam memahami masalah yang dihadapinya. Selanjutnya penghambat dari memahami masalah adalah sempitnya pengetahuan dan pergaulan. Pengetahuan mengenai berbagai macam persoalan, juga dari pergaulan yang sempit sehingga tidak biasa belajar dari masalah orang lain dan hal ini akhirnya akan berakibat pemikiran yang kaku dan sempit dan akhirnya akan sulit untuk mengambil sebuah keputusan.
Ketiga, tingkat kepuasan hidup dan merasa berharga. Kepuasan hidup adalah bukti dari rasa syukur dan terima kasih yang tulus didalam diri seseorang. Orang yang mempunyai atau menghargai kepuasan ini dan dapat menerima berbagai kenyataan dalam hidup, umumnya dapat hidup bahagia walaupun mengalami hambatan-hambatan dalam perjalanan hidupnya. Tentunya orang yang berjiwa demikian disebut mempunyai kesadaran yang tinggi.
Keinginan untuk mengumpulkan berbagai benda duniawi bukanlah tabu dilakukan. Namun, jika sudah keranjingan dan menjadi tamak, itu menjadi sumber ketidakbahagiaan dalam hidup seseorang. Pikiran untuk menginginkan sesuatu itu berwujud karena adanya ikatan-ikatan ingatan sebelumnya tentang sesuatu yang membuatnya merasa senang, nikmat dan bahagia.
Sedangkan derajat kebahagiaan seseorang dalam hidupnya akan menentukan seberapa cepat mampu menghargai keadaannya dan menjadi bahagia karenanya. Seseorang akan merasa puas pada suatu keadaan, umumnya mudah menerima dan menghargai kelebihan orang lain. Pikiran yang berisi rasa puas akan berpikir dengan tenang dan damai. Semakin puas seseorang, semakin terbuka kemungkinan untuk menikmati kebahagian dalam hidupnya.
Keempat, tingkat konsentrasi dan kebingungan. Kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari berbagai kebutuhan, baik yang berhubungan dengan kebutuhan jasmani, maupun rohani. Kebutuhan dan keinginan selalu terkait dengan keterbatasan yang dimiliki oleh manusia sehingga tidak mungkin dapat memenuhi segala macam keinginan tersebut.
Pikiran manusia tidak mengenal batas, dia dapat berfungsi di segala bidang dan waktu karena pikiran itu dasarnnya adalah energi. Namun manusia sendiri yang membuat pikiran itu menjadi kalut dan terbebani dengan berbagai persoalan yang ditimbulkannnya sendiri. Jika keinginan dituruti tanpa diteliti ulang sesuai urgensi kebutuhannya, yang terjadi pikiran terbebani oleh begitu banyaknya keinginan yang mempengaruhi tingkat konsentrasi seseorang.
Sesuatu yang berada diluar diri menjadi targetan tanpa dipikir panjang dan mendalam. Akhirnya, tentu terjadi penumpukan ide pikiran yang belum tentu semuanya dapat terwujud dalam tindakan nyata. ”Gelombang energi pikiran bertabrakan dan terkirim melalui sistem syaraf-syaraf’ sehingga syaraf menjadi lemah dan menghasilkan pikiran yang lemah, pikiran kalut yang membuat kebingungan”.
Kelima, tingkat kecemasan dan kebahagiaan hidup. Manusia akan merasakan emosi kegembiraan atau kebahagiaan apabila ia memperoleh apa yang diinginkannya. seperti harta, pengaruh kesuksesan, ilmu pengetehuan, keimanan dan ketaqwaan. Kegembiraan adalah perkara yang nisbi sifatnya, atau tergantung kepada apa yang menjadi tujuan manusia dalam hidupnya.
Sebaliknya, kecemasan adalah ”bentuk perasaan atau emosi rasa khawatir atas berbagai kejadian yang tidak diharapkan dirinya”. Misalnya; Kecemasan menjadi miskin, kecemasan menghadapi hari tua, kecemasan kehilangan kekuasaan, kecemasan takut kehilangan yang dicintai, kecemasan menghadapi masa depan dan kecemasan lainnya.
Para penghafal al-Qur’an yang satu dengan yang lainnya pasti berbeda dalam menentukan tujuan dari hafalalnnya, ada yang bertujuan untuk mendapatkan penghargaan dari orang lain, ada juga yang ingin mendapatkan prestasi dalam berbagai perlombaan dan tujuan mulia yang seharusnya dipegang oleh para penghafal al-Qur’an adalah untuk mengharapkan ridha Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar